Bab 26

6.6K 576 65
                                    

Selamat Membaca








Meeting pagi ini dilakukan di perusahaan milik Papa Semesta, lelaki tua itu masih menjabat sebagai CEO. Hanya saja beberapa posisi penting sudah diambil alih oleh Semesta dan Yuan. Semesta menjabat sebagai direktur operasional, sedangkan Yuan mengisi jabatan sebagai direktur keuangan.

Ridwan melirik Jena yang sejak tadi tampak gugup, "Mbak Aya sakit?" tanyanya yang membuat Jena menoleh, gadis itu menggeleng sembari tersenyum tipis. "Kalau sakit bilang ya, Mbak. Jarang banget soalnya lihat Mbak Jena gugup gini saat mau presentasi."

Jena tersenyum, ia bukan gugup karena harus menjelaskan bagaimana skema kerja sama mereka nanti. Ia gugup karena ada sedikit rasa takut di dalam hatinya. Bertemu kembali dengan Semesta dan keluarga lelaki itu setelah semua luka yang harus ia tanggung sendirian adalah bencana.

Gadis itu bersama Ridwan keluar dari lift, salah satu pegawai mengarahkan mereka ke ruang rapat di lantai lima belas. Membuka pintu, dan ... Jena bisa melihatnya. Papa Semesta yang duduk tepat di bagian tengah meja berbentu U ini. Di samping kanannya terdapat Semesta sebagai dirut operasional. Sedangkan di samping kirinya Yuan duduk di sana sebagai dirut keuangan. Lalu, di samping Yuan, Elisa ada di sana. Gadis itu tampak terkejut melihat Jena. Jadi, mereka bertiga yang sekarang menjalankan perusahaan ini.

Kedua tangan Jena mengepal erat, tatapnya lurus mengarah kepada Papa Semesta, melihat bagaimana lelaki tua itu tampak memberikannya tatapan meremehkan. Dan, hal itu tidak luput dari pengawasan Semesta.

"Mbak," panggil Ridwan sembari menyentuh pelan lengan Jena. Lelaki itu mengarahkan Jena untuk berjalan menuju ke podium, untuk mengawali presentasi dari kerja sama mereka untuk membangun pabrik di daerah Garut itu.

Jena mengembuskan napas pelan, ia melangkah dengan langkah yang cukup bergetar, dan benar saja. Kakinya tersandung dan gadis itu terjatuh yang membuat Semesta dan Yuan serentak berdiri.

"Mbak Aya!" seru Ridwan terdengar panik.

Jena menoleh, melihat kembali ke arah mereka, ke jejeran petinggi perusahaan itu duduk, dan lagi-lagi Papa Semesta tampak tersenyum penuh ejekan. Tatapnya seolah menjelaskan jika kembalinya Jena bukan apa-apa.

"Kita buat sederhana saja, berapa nominal yang kamu mau? Sebutkan dan mari selesaikan ini secara tenang."

"Kamu memang harus kembali, dan melihat sebahagia apa Semesta setelah beban terberatnya menghilang dari hidupnya."

Perkataan Papa Semesta empat tahun lalu masih terpaku di kepalanya, membuat Jena pulih bersama dengan rasa dendamnya. Rasa sakitnya harus terbalaskan. Lelaki tua itu harus merasakan bagaimana kesulitan yang Jena alami dulu.

Jena bangkit berdiri, menepuk ujung rok yang dikenakannya beberapa kali sebelum meneruskan langkah menuju ke podium, yang membuat Semesta dan Yuan kembali duduk di kursinya. Gadis itu menatap Ridwan yang mengoperasikan laptop untuk PPT yang sudah mereka buat berbulan-bulan itu. Anggukan pelan dari Jena mengawali presentasi mereka pagi itu.

"Selamat pagi Bapak, dan Ibu sekalian. Saya Jenaya, sekretaris pribadi dari Pak Hasyim –CEO dari perusahaan kami, mewakili beliau saya akan mempresentasikan projek kami ke depannya mengenai Pembangunan pabrik di daerah Garut, di karenakan Pak Hasyim masih berada di Kalimantan untuk menangani proyek kami lainnya." Tatapan Jena mengarah kepada Papa Semesta, "Sesuai dengan permintaan Bapak dan Ibu sebelumnya—" Gadis itu terus berbicara, menjelaskan bagaimana system kerja mereka nantinya.

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang