Selamat Membaca
Semesta tidak bisa tenang, terhitung sudah tiga hari ia meninggalkan Jena sendirian di Bandung, kembali ke Jakarta untuk mengurus permasalahan yang ada di perusahaannya. Tim audit sudah mengetahuinya, dan Semesta harus menenangkan mereka agar tidak menyentuh Jena.
"Saya mau data semua pemegang saham yang ada di pihak Papa. Tolong ada di meja saya besok ya, Hid. Dan, sekalian atur jadwal untuk saya bertemu dengan mereka besok. Sekarang kamu boleh pulang," ucap Semesta yang dijawab anggukan pelan oleh Zahid.
Pukul sebelas malam, dan Semesta baru saja mengakhiri segala kegiatannya di hari ini. Ia menghela napas pelan dan bersandar di sandaran kursinya. Melihat layar ponselnya yang belum ada satu notifikasi pun dari Jena.
Lelaki itu mengkhawatirkan Jena, takut jika keadaan membuat mereka tidak lagi bisa bersama. Semesta takut jika nantinya Jena memilih menyerah dan enggan kembali kepadanya.
Jangan lupa pulang ya, Na. Ingat janji kamu.
Semesta memejamkan mata, memilih tidur di kantornya untuk malam ini. Karena pulang pun percuma, Jena tidak ada di sana. Semesta hanya akan terus merindukan Jena, karena di setiap sudut rumah, telah ada jejak gadis itu di sana.
*
Semesta yang baru saja berganti pakaian di dalam kamar yang ada di ruangannya berjalan keluar begitu mendengar suara ramai. Sembari merapikan dasinya, Semesta menuju meja Zahid yang ada di luar ruangannya.
Di sana sekretaris pribadinya itu tampak berdebat dengan beberapa orang yang Semesta kenali sebagai anggota dari tim audit perusahaan. "Ada apa ini?" tanyanya yang membuat semua pasang mata beralih kepadanya.
"Pak Semesta tidak boleh lagi menunda-nunda, kami harus memanggil Bu Jenaya untuk melakukan wawancara," jawab salah satunya.
"Bukannya saya sudah memperjelas jika kita akan menunggu Jena mendatangi kantor ini beberapa hari lagi."
"Pak, pemegang saham minoritas terus menjual sahamnya satu persatu, kalau begini, bisa-bisa perusahaan air mineral kita, diakuisisi oleh competitor. Tolong jangan mengedepankan perasaan pribadi Pak Semesta di dalam urusan perusahaan."
"Tolong perhatikan perkataan kamu, berani sekali berbicara begitu dengan Pak Semesta?" tanya Zahid marah.
"Yang mereka katakan ada benarnya, Ta."
Semesta menoleh, melihat Yuan yang berjalan mendekat ke arahnya, wajahnya tampak risau, "Kita nggak boleh diam aja tanpa melakukan apapun, sedangkan pemegang saham minoritas sudah memilih kubu. Kita bisa kehilangan perusahaan air mineral kita, Ta," katanya.
"Ayo lakukan wawancara itu."
Semua menoleh ke asal suara, Jena yang baru saja keluar dari lift dengan gaun putihnya, tersenyum menatap Semesta yang tampak terkejut melihat keberadaannya. Setelah tiga hari tanpa kabar, gadis itu dengan wajahnya yang tampak kurang tidur meski sudah ditutupi oleh makeup berada di sana, seolah siap dengan segala konsekuensi yang harus ia terima setelah ini.
*
Hampir dua jam lamanya Jena melakukan wawancara dengan tima audit perusahaan, sebelum akhirnya wawancara itu selesai dilakukan. Semesta sudah menunggunya di depan ruang audit, menggandeng tangan gadis itu, dan membawanya keluar dari perusahaan meski ia memiliki janji temu dengan para pemegang saham.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTANYA JENA
RomanceSemesta sudah memiliki banyak beban di usianya yang masih muda. Hidup Jena mungkin susah, namun menjadi Semesta jauh lebih susah. Dan, ketika lelaki itu akhirnya menemukan kebahagiaannya pada diri gadis lain, maka Jena tidak berhak merasa marah. Ia...