Selamat Membaca
Cepet banget udah sampai 170 komentar lebihh, makasih yeorobunn
Meski tahu telah diselingkuhi, meski sadar betul jika dirinya seperti mainan untuk Bima dan Sania, namun Semesta tetap bergegas ke rumah sakit ketika Bima meneleponnya, mengabari jika Sania mengalami pendarahan dan tengah hamil. Ia bahkan meninggalkan Jena begitu saja, padahal gadis itu telah memeluk lukanya semalaman.
"Ta, makasih banget udah mau datang. Gue beneran kebingungan dari subuh tadi," ucap Bima yang terlihat menyedihkan pagi ini.
Semesta mengembuskan napas kasar, ia menatap ke dalam kamar, Sania berbaring dengan wajah yang pucat. Bayangan keduanya yang telanjang di dalam apartemennya, membuat Semesta mual seketika.
"Kenapa bingung?" sorot mata Semesta menajam kepada teman dekatnya itu, "Ini perbuatan lo, kan?" tanyanya yang membuat Bima diam, "Nikahi Sania, tanggung jawab sama janin di dalam kandungannya."
Gelengan pelan Bima berikan sebagai jawaban, "Gue sama Sania masih kuliah, Ta. Gue nggak punya apa-apa untuk menikahi dia dan mempertanggung jawabkan bayi itu."
"Terus kenapa lo melakukannya, sialan?!" desis Semesta marah. Ia menarik kerah baju yang dikenakan oleh Bima, "Pulang dan bicarakan masalah ini sama orangtua lo. Jangan membuat gue lebih jijik sama lo karena lepas tanggung jawab gitu aja, Bim. Lo udah membawa Sania sejauh ini, karena itu sampai akhir pun dia tetap tanggung jawab lo."
*
"Mau apalagi? Tadi aku beli buah potong kalau kamu mau."
Sania menggeleng mendengar perkataan Semesta, bahkan hingga malam tiba, lelaki itu tetap berada di rumah sakit. Bima dan Sania sama-sama anak rantau. Jika rumah Bima masih di Bogor. Rumah Sania lebih jauh lagi. Orangtua gadis itu berada di Yogyakarta. Tidak ada yang menjaganya, karena itu Semesta melakukannya. Mengabaikan bagaimana cara gadis itu mengkhianatinya.
"Makasih, Ta. Bahkan setelah apa yang udah aku lakukan ke kamu, kamu tetap mau nemenin aku di sini," kata Sania yang membuat Semesta menatapnya.
Untuk beberapa saat keduanya saling bertukar pandang, sebelum lelaki itu mengangguk dan berucap pelan, "Bayi di perut kamu nggak melakukan kesalahan apapun. Aku melakukannya demi dia." Dan, setelahnya lelaki itu berjalan keluar kamar rawat Sania begitu saja.
Setelah menutup pintu, lelaki itu mengembuskan napas berat. Ini tidak mudah. Hatinya sakit karena penghianatan yang Sania lakukan, namun sisi lain dirinya seolah tidak bisa membiarkan gadis itu begitu saja. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang.
Semesta beranjak duduk di kursi tunggu yang ada di sana, mengeluarkan ponsel begitu menyadari jika sejak tadi ia belum menghubungi Jena sama sekali.
Aku masih di rumah sakit, Na.
Kayaknya aku menginap di sini, aku harus jagain Sania.
Bima lagi pulang ke Bogor, menemui orangtuanya untuk menjelaskan mengenai masalah ini.
Tidak berapa lama kemudian, gadis itu membaca pesannya, dan pesan balasan yang Jena kirim, membuat perasaan Semesta tidak nyaman.
Jena : Iya, nggak apa-apa.
Jena : Temenin Sania sampai sehat juga nggak apa-apa.
Gadis itu tengah marah. Tadi, setelah menerima kabar dari Bima, Semesta memang langsung pergi begitu saja tanpa mendengarkan jawaban Jena.
Marah ya, Na?
Jena : Enggak.
Bohong. Pasti sekarang lagi marah.
Jena : Aku nggak punya tenaga untuk marah, Mas.
Jena : Kamu datang ke aku pas lagi butuh doang, juga aku akan bilang nggak apa-apa.
Nggak gitu, Na.
Sania sendirian, kasihan.
Jena : Iya, makanya kamu di sana, temenin dia, Mas.
Semesta mengembuskan napas berat. Kemarahan Jena membuat kepalanya semakin terasa pusing. Ia tahu prilakunya tidak bisa dibenarkan. Apalagi setelah Jena yang memeluknya semalaman setelah apa yang sudah Sania lakukan kepadanya. Namun, kali ini, tidak bisakah Jena melihatnya atas dasar kemanusiaan?
Tolong ngerti posisiku kali ini ya, Na.
Jena : Memangnya kapan aku nggak ngertiin kamu, Mas?
***
Jena berangkat kuliah pagi ini bersamaan dengan Semesta yang baru saja kembali dari rumah sakit. Gadis itu mengalihkan pandangan begitu Semesta mendekat ke arahnya yang tengah mengikat tali sepatu di teras dapur itu.
"Hari ini cuman satu aja kan kelasnya?" tanya lelaki itu yang kini jongkok di depan Jena. Namun, gadis itu seolah tidak peduli. Ia berganti mengenakan sepatu di sisi kanan, sebelum tangan Semesta lebih dulu meraihnya, mengambil alih untuk memasangkan dan mengikat sepatu Jena di sebelah kanan itu.
"Aku antar ya, Na?"
"Nggak usah," jawab Jena tanpa perlu berpikir yang membuat Semesta mengerutkan kening.
"Kenapa?"
"Mas Esta semalaman kemarin pasti nggak tidur nyenyak di rumah sakit. Jadi, sekarang istirahat aja. Aku bisa sendiri."
"Kamu marah?"
Jena bangkit berdiri yang membuat Semesta ikut bangkit, gadis itu sedikit mendongak, untuk menatap wajah Semesta, "Menurut kamu aja gimana, Mas?" tanyanya sembari berusaha bersabar menghadapi ketidak pekaan dan keegoisan Semesta.
"Sania selingkuh. Dia tidur sama teman dekat kamu sampai hamil."
"Na," tegur Semesta yang terlihat tidak suka ketika Jena menekankan fakta itu.
"Kalau seandainya yang Mas Esta jaga seharian kemarin adalah gadis lain. Aku nggak apa-apa, Mas. Tapi, ini Sania. Harga diri kamu sebagai lelaki udah dia hancurin gitu aja. Tapi, Mas Esta masih tetap ada di saat dia lagi butuh," ucap Jena sembari mengembuskan napas pelan, "Aku nggak tahu kalau kamu ternyata sesayang ini sama Sania, Mas."
Jena memberikan Semesta tatapan penuh kecewa, sebelum meraih tasnya, dan berjalan keluar halaman rumah. Meninggalkan Semesta yang kembali dibuat termenung setelah mendengar perkataan gadis itu.
Ia kembali membuat kesalahan. Ia kembali membuat Jena kecewa tanpa disengaja.
Iya tahu bab 9 ini pendek banget. Tapi, gapapa lah ya yang penting aku menepati janji untuk update lagi. Soalnya aku beneran gatau bisa secepat ini gaiss.
Kalau jadi Jena, kalian bakal bersikap kayak gimana ke Semesta? Coba tulis komentarnya di bawah.
Kita ketemu lagi kalau vote dan komentar bab ini lebih banyak lagi ya hehe
Makasii sayang sayang akuu
Follow ig, wattpad, karyakarsa, tiktok : Rizcaca21
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTANYA JENA
RomanceSemesta sudah memiliki banyak beban di usianya yang masih muda. Hidup Jena mungkin susah, namun menjadi Semesta jauh lebih susah. Dan, ketika lelaki itu akhirnya menemukan kebahagiaannya pada diri gadis lain, maka Jena tidak berhak merasa marah. Ia...