Selamat Membaca
Setelah kejadian sore tadi, Semesta selalu mengalihkan pandangan dan tidak berani menatap langsung wajah Jena. Hal yang membuat gadis itu harus terus menahan senyum, bagaimana bisa Semesta terlihat begitu menggemaskan di antara keadaan yang cukup menguras tenaga ini?
"Nanti malam kan tahlilannya Papa sudah selesai, boleh makan sate taichan di luar enggak, Mas?" tanya Tiara kepada Semesta ketika mereka tengah duduk bersama di meja makan malam ini.
"Ini sudah malam, mau seberapa malam lagi?" balas Semesta yang terlihat kurang setuju dengan ide adiknya itu.
Tiara cemberut, "Mau motoran sama Mas Bio, sudah lama nggak naik motor malam-malam. Mbak Jena juga kangen kok dibonceng sama Mas Esta, iya kan, Mbak?"
Jena mengerjab bingung ketika Tiara menatapnya penuh permohonan, Semesta dan Bio menatapnya yang membuat gadis itu mengangguk bingung. Seingatnya, ia tidak pernah mengatakan hal itu kepada Tiara.
Ketika tatapnya tidak sengaja bertemu langsung dengan tatapan milik Jena, Semesta mengalihkan pandangannya lebih dulu. Ia berdeham sebelum mengangguk, "Yaudah, nanti kita motoran cari sate taichan," katanya yang membuat Tiara berseru keras.
*
"Sudah mau jam sepuluh, mau berangkat jam berapa?" Jena menghampiri Semesta yang tengah mencuci piring di wastafel.
Lelaki itu menoleh, melihat jaraknya yang terlalu dekat dengan Jena, membuat Semesta bergeser, memberi jarak di antara mereka, "Kamu sudah lapar lagi?" tanyanya yang membuat Jena menggeleng.
"Enggak, sih. Aku takut kamu ngantuk saja kalau berangkat terlalu malam," jawab Jena yang kembali mendekat, kali ini gadis itu bahkan hendak mengambil alih piring di tangan Semesta yang membuat lelaki itu berjengit terkejut, dan menjauh.
"Mau apa?"
Kening Jena mengerut melihat reaksi berlebihan lelaki itu, "Mau bantuin kamu."
"Nggak usah." Semesta mendengus kasar, "Sana, Na. Aku bisa sendiri. Rebahan saja di ruang tengah sama Tiara dan Bio."
"Kenapa sih, Mas?" Jena diam mengamati Semesta yang bahkan berkeringat saat ia tengah mencuci piring. "Kamu itu aneh dari sore tadi."
Lelaki itu mengalihkan pandangan, mengembuskan napas kasar, sebelum kembali membilas piring dan gelas di wastafel. "Nggak apa-apa, kamu saja yang terlalu perasa," katanya.
Jena mengerucutkan bibirnya kesal, "Kita berangkat habis ini, ya. Mampir cari boba dulu boleh enggak, Mas?" tanyanya yang hanya dijawab anggukan oleh lelaki itu. Jena diam-diam mengulum senyum, mengusap lembut lengan Semesta, sebelum berlari keluar dari dapur sembari terkekeh pelan.
Semesta melongo beberapa saat sebelum menggeleng pelan, tidak tahu jika Jena yang sekarang terasa begitu membahayakan bagi dirinya.
*
"Ke belakangan dong, Na."
"Sudah mentok, Mas."
"Kamu ini nempel banget ke punggungku."
"Dadaku rata, nggak akan kerasa juga."
Perdebatan itu terhenti ketika suara tawa Tiara terdengar keras. "Kenapa sih, Mas, Mbak?" tanyanya sembari mengenakan helm, menunggu Bio yang tengah menutup garasi, menghampiri kedua kakaknya itu yang tengah berdebat di depan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTANYA JENA
RomanceSemesta sudah memiliki banyak beban di usianya yang masih muda. Hidup Jena mungkin susah, namun menjadi Semesta jauh lebih susah. Dan, ketika lelaki itu akhirnya menemukan kebahagiaannya pada diri gadis lain, maka Jena tidak berhak merasa marah. Ia...