Bab 25

5K 479 158
                                    

Selamat Membaca







Empat tahun kemudian

"Selamat ulangtahun, Semesta!"

Semesta yang baru saja memasuki kamarnya itu diam begitu melihat Elisa yang berada di dalam sana, memegang kue bersama dengan Tiara dan Bio di sana. Ia menghela napas pelan, menyalakan lampu dan menatap gadis itu dengan tatapan lurus.

"Aku harus jelasin ke kamu kayak gimana lagi sih, El? Aku nggak mau merayakan ulangtahunku. Tiap tahun udah selalu aku tekankan. Kenapa kamu nggak paham juga." Ia melepaskan satu kancing kemeja yang tiap hari terasa mencekik lehernya itu.

"Kuenya aku buat sendiri loh sama Tiara dari pagi tadi." Seolah tidak peduli dengan penolakan Semesta, Elisa mendekat sembari membawa kue itu dengan begitu semangat. "Tiup lilinnya, habis itu kita makan kue sama-sama."

Lagi-lagi Semesta hanya menghela napas pelan, "Kamu aja yang makan sama Tiara dan Bio, aku mau istirahat, capek." Ia berjalan menuju kamar mandi setelah memberi usapan lembut di kepala Tiara. Tidak lagi peduli meski Elisa tampak sangat kecewa karena perkataannya.

Tiara menatap kepergian kakak pertamanya itu dengan tatapan sedih. Dia bukan Semesta. Setelah kepergian Jena empat tahun yang lalu, Semesta berubah. Dia seperti orang lain yang hidup di dalam diri Semesta.

Tiara ingat betul bagaimana antusiasnya Semesta dulu ketika menjelang hari ulangtahunnya. Kakaknya itu bahkan selalu merengek kepada Jena ketika gadis itu tampak cuek dan tidak menyiapkan apa-apa menjelang hari ulangtahunnya.

"Aku mau tumpengnya nasi kuning yang selalu Ibu buat. Harus ada cake juga. Maunya yang cokelat. Mau jajanan pasar juga. Nanti minta tolong Ibu pesenin di tempat langganan ya, Na. Terus ini yang paling penting, kado dari kamu."

Jena yang tengah membantu Tiara mengerjakan PR itu tampak sabar dengan Semesta yang selalu menempelinya sejak tadi. "Aku udah sibuk bantuin Ibu, nggak sempat beliin kamu hadiah, Mas."

"Siapa bilang aku mintanya barang?" tanya Semesta yang membuat Jena menoleh.

"Terus maunya apa?"

Lelaki itu menyengir lebar, sebelum memeluk tubuh Jena dari samping dan memberikan kecupan dalam di pipi Jena. "Mau dipeluk yang lamaa ..." katanya dengan begitu manja yang membuat Tiara menjerit dan melemparinya dengan bantalan sofa, yang membuat Semesta tertawa keras.

Kakaknya yang dulu, yang diselimuti dengan kehangatan dan canda tawa itu, ikut menghilang empat tahun lalu bersama dengan kepergian Jena. Tiara merindukannya, ia merindukan kebersamaan mereka. Karena setelah Jena pergi, Semesta selalu menyibukkan diri dan jarang pulang ke rumah. Lelaki itu harus mempunyai kesibukan, karena kalau tidak, Semesta bisa menggila karena rasa rindunya kepada Jena yang tidak pernah berhenti itu.

***

"Mengenai pembangunan pabrik di Garut, siang ini sudah saya jadwalkan untuk bertemu tim dari kontraktor yang akan bekerja sama dengan kita, Pak," jelas Zahid –lelaki yang merupakan sekretaris pribadi Semesta sejak lelaki itu mengambil alih posisi manajer operasional dua tahun yang lalu.

Sembari focus membaca laporan di mejanya, Semesta mengangguk, "Masih kontraktor yang sama yang membangun pabrik kita di Malang?"

"Bukan, Pak. Ini kontraktor lain."

Semesta meletakkan pena di tangannya, matanya menyipit menatap Zahid, "Kenapa? Menyesuaikan cara kerja kita sama orang baru itu nggak mudah. Saya udah berapa kali bilang sama kamu, kalau yang lama cara kerjanya oke, dan nggak ada masalah. Kita pakai mereka lagi."

"Iya, Pak. Saya mengerti. Tapi, kontraktor yang kemarin bentrok jadwalnya, jadi mereka nggak mengambil proyek di Garut. Dan, juga kontraktor yang sekarang ini, saya ambil atas rekomendasi kontraktor yang lama, Pak."

Semesta mengangguk, "Atur di jam makan siang aja. Saya dan kamu yang akan menemui mereka."

"Baik, Pak."

*

Entah sudah ke berapa kalianya Semesta berdecak sembari menyesap ice americanonya. Sejak tadi tatap matanya sudah mengarah kepada Zahid, memberikan tatapan sinis karena sudah hampir satu jam, dan pihak kontraktor itu belum juga datang.

"Batalkan janjinya. Mereka pikir saya pengangguran," sembur Semesta sembari bangkit berdiri, ia hendak melangkah menjauh sebelum ...

"Maaf atas keterlambatan kami. Manager proyek kami mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan, kami kesulitan menghubungi karena—"

Semesta tidak lagi peduli dengan apa yang dikatakan lelaki dengan hoodie hitam itu. Tatapnya mengarah lurus kepada gadis dengan rambut pendek berwarna cokelat itu. Terakhir kali mereka bertemu empat tahun yang lalu, tatapannya tidak pernah sedingin itu kepada Semesta.

Jena di sana. Setelah empat tahun tidak bertemu. Setelah ratusan cara Semesta lakukan agar menemukannya. Namun, hari ini, takdir menjalankan tugasnya. Mempertemukan mereka kembali tanpa Semesta duga sama sekali.

"Maaf, Pak. Tapi, Pak Semesta sudah menunggu sejak satu jam yang lalu. Kami punya aturan. Jadi, perjanjian ini kami—"

"Hid," potong Semesta yang membuat Zahid menatapnya, "Duduk lagi."

"Ya, Pak?" Lelaki itu menatap Semesta dengan tatapan bingung.

"Duduk lagi," ulang Semesta yang kali ini disertai dengan dorongan sedikit kuat kepada Zahid agar sekretarisnya itu kembali duduk di sofa.

Harusnya ia memeluk Jena, mengucapkan bagaimana besarnya rasa rindu yang ia simpan selama ini. Namun, melihat Jena yang sekarang, setelah empat tahun tidak bertemu, segalanya terasa berbeda. Sekarang setelah melihat bagaimana asingnya tatapan Jena kepadanya, membuat Semesta menyimpulkan jika mungkin saja hanya perasaannya yang tidak berubah. Sedangkan Jena telah lama melupakan kisah di antara mereka.

"Saya Ridwan, salah satu manager proyek yang akan menangani proyek dari perusahaan Pak Semesta." Lelaki itu mengenalkan diri kepada Semesta dan Zahid. "Dan, ini," ucapnya sembari menatap Jena. "Ini Mbak Aya, sekretaris pribadi dari Pak Hasyim –direktur utama di perusahaa kami, Pak."

Semesta benar-benar dibuat termenung, gadis itu bahkan tidak lagi menggunakan nama Jena, namun Aya di tempat baru. Apakah memang sesakit itu luka yang diberikan oleh keluarganya empat tahun yang lalu kepada gadis itu? Tatapannya terus mengarah kepada Jena, menatapnya penuh kerinduan dan perasaan bersalah.

"Mewakili Pak Hasyim, saya meminta maaf atas keabsenan beliau, dan keterlambatan kami siang ini."

Dada Semesta bergetar hebat setelah mendengar kembali suara Jena. Kedua mata lelaki itu tanpa sadar bahkan sudah berkaca-kaca, dan hal itu tidak luput dari pengamatan Zahid yang sejak tadi terus mengawasinya.

*

"Setelah tidak lagi bekerja di rumah Pak Semesta, Mbak Aya memang datang ke Surabaya. Rumah yang sudah dibeli, hangus begitu saja. Mbak Jena ditipu. Mungkin karena uang Tabungan telah habis, jadi Mbak Jena bekerja sebagai ladies companion di salah satu satu tempat karaoke di Surabaya selama setahun, sebelum—"

"Sebentar," sela Semesta. "Ladies companion? LC maksud kamu? Pemandu lagu?" ulangnya tidak percaya yang dijawab anggukan pelan oleh Zahid.

Semesta benar-benar diam mendengarnya. Jenanya bekerja sebagai pemandu lagu selama setahun? Ya Tuhan, banyak yang sudah Semesta lewatkan, dan Jena melaluinya sendirian. Kedua tangan lelaki itu mengepal. Demi Tuhan, jika semua ini ada campur tangan keluarganya, maka Semesta pasti akan membalas mereka semua.







Lanjutan bab ini ada di karyakarsa ya gais, spesial bab 25. Kalian harus baca biar tahu gimana sakitnya Jena eh, sekarang namanya Aya hahaha

Jangan lupa vote dan komentarnya ya, aku tungguin sebelum bab berikutnyaa

Makasii

Follow ig, wattpad, karyakarsa, tiktok : Rizcaca21

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang