Bab 23

6K 566 164
                                    

Selamat Membaca




Maaf ya baru bisa update sekarangg






Semesta mengerjabkan matanya beberapa kali, mencoba menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu yang cukup silau itu. Ketika matanya telah terbuka dengan sempurna, yang ia lihat pertama kali adalah Oma yang menangis di samping kanannya. Sedangkan samping kirinya, Tiara juga tampak menangis ditemani dengan Bio. Pandangan itu lelaki itu mengedar, melihat satu persatu orang yang tengah mengelilingi ranjangnya sebelum ...

"Jena ... di mana?" tanyanya dengan suara pelan begitu menyadari jika gadis kesayangannya itu tidak ada bersama dengan keluarganya.

"Oma senang kamu sadar, Semesta. Kamu dioperasi semalam, dan baru sadarkan diri siang ini." Oma dengan wajah berlinang air mata mengeratkan genggaman tangannya di tangan Semesta, "Jangan bekerja lagi ya, semuanya akan kami kembalikan. Fasilitas yang kamu butuhkan, akan kami berikan."

Semesta tidak terlalu memedulikan itu. Ia memejamkan matanya sesaat begitu merasakan pusing menyerangnya. Ketika matanya kembali terbuka, orang pertama yang ia tanyai adalah Bio. Adik lelaki yang setidaknya berada di pihak yang sama dengannya.

"Mbak Jena ke mana, Dek?" ulangnya sekali lagi yang membuat semua orang di dalam kamar ruang rawatnya itu terdiam. "Mbak Jena belum di kasih tahu kalau mas masuk rumah sakit? Atau, dia ada matkul siang ini?"

Ia berusaha tetap berpikir positif, meski perasaannya sudah tidak karuan. Semesta mengingat apa yang terjadi kepadanya ketika kecelakaan di studio foto itu terjadi, namun bukan rasa sakit yang ada di kepalanya yang ia rasakan sekarang, karena justru rasa khawatirnya yang begitu besar terhadap Jena membuat semua rasa sakit itu menghilang begitu saja.

"Bio," panggilnya dengan nada tegas sebelum beralih menatap Tiara, "Mbak Jena ke mana, Dek? Mbak Jena nggak menemani kamu?" Tidak ada yang bersuara sampai kemudian ...

"Papa mengusir Jena," jawab Papa dengan suara tenang yang membuat Semesta menatapnya dengan kening mengerut.

"Mengusir?" ulang Semesta yang membuat Papa mengangguk.

"Dia beban untuk kamu, Mas. Kamu kerja susah payah, jadi montir, jadi model. Pulang tengah malam, atau bahkan nggak pulang sampai berujung kecelakaan di tempat kerja kayak gini. Semuanya karena Jena. Kalau dia menurut dengan pergi sejak dulu, kepala kamu nggak akan sampai dioperasi kayak gini." Papa masih sama, ia masih terlihat sangat marah pada apa yang menimpa Semesta, dan menyalahkan segalanya kepada Jena.

Semesta mendengus tidak percaya, "Aku nggak tahu kenapa dulu Mama masih mau bertahan jadi istri Papa sampai akhir hidupnya."

"Kamu—"

"Apa, Pa? Aku anak nggak tahu diri? Kurang aja? Iya, aku memang anak yang buruk di mata Papa." Ia bangkit duduk dengan susah payah, tanpa mau dibantu oleh siapapun yang ada di sana. "Tapi, Papa jauh lebih buruk dari aku," katanya dengan berani.

Perasaan Semesta sudah tidak karuan. Jena pergi ketika ia tidak sadarkan diri. Gadis itu meninggalkannya ketika ia sakit dan tidak bisa melakukan apapun. Semesta tidak kuasa menahan kepergian Jena, karena bahkan ia tidak tahu kapan kepergian gadis itu.

"Jena dan Ibunya adalah orang yang berjasa untuk hidupku dan kedua adikku, Pa. Tanpa Ibu, aku mungkin udah jadi anak jalanan yang suka mabuk-mabukan, balapan liar, dan kecanduan ganja." Dengan mata berkaca-kaca, Semesta mengeluarkan semua kekesalannya kepada sang papa.

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang