Bab 4

8.3K 823 139
                                    

Selamat Membaca



Udah buka puasa, kan?

Jadi, sedikit emosi di bab ini nggak apa-apa kan hehe









Semesta menjadi semakin sibuk. Lelaki itu jarang berada di rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya dan juga Sania. Tiara selalu mengeluh, namun Semesta dan dunia barunya seolah tidak bisa diganggu.

"Jena."

Langkah Jena yang hendak berjalan menuju meja makan terhenti, ia menatap penuh tanya kepada Semesta yang baru saja memanggilnya. Hubungan keduanya merenggang setelah malam itu. Jena mencoba memakluminya, menelan semua rasa kecewanya sendirian. Lelaki itu berhak mendapatkan kebahagiaannya.

"Mas Esta butuh sesuatu?" tanyanya yang membuat Semesta tampak diam, dan terlihat ragu, "Kenapa, Mas?"

"Sania akan datang malam ini, kamu tahu, kan?" tanya Semesta yang dijawab anggukan pelan oleh Jena.

Malam ini adalah perayaan ulangtahun Tiara. Namun, alih-alih dirayakan dengan mewah, gadis SMP itu hanya mau dirayakan dengan cara yang sederhana. Makan malam di rumah bersama dengan orang-orang tersayang. Karena itu sejak pagi tadi Jena dan Ibu sibuk menyiapkan makanan di dapur.

"Untuk malam ini aja, bisa jangan makan di meja makan?"

Gadis itu benar-benar dibuat termenung setelahnya. Hatinya terasa dicubit. Kedua matanya tiba-tiba terasa hangat. Jena ingin menangis dan meraung dengan keras saat ini juga. Setelah sepuluh tahun bersama, bagaimana bisa Semesta berubah begitu saja hanya karena kedatangan gadis baru di kehidupannya?

"Aku nggak tahu cara bilang ke Ibu gimana. Karena itu aku minta tolong sama kamu. Untuk malam ini, hanya di ulangtahun Tiara, kamu dan Ibu jangan makan bareng di meja makan. Aku nggak mau Sania salah paham."

Jena mengalihkan pandangan, berusaha menahan air matanya, sebelum mengangguk pelan tanpa mengatakan apapun. Gadis itu berlalu begitu saja, meninggalkan Semesta yang masih diam sembari memerhatikan kepergiaannya.

Setelah meletakkan piring di meja makan, memastikan semua makanan sudah dihidangkan. Jena mengasingkan diri di gudang belakang. Menangis tanpa suara, sembari bingung memikirkan apa yang akan dia sampaikan kepada Ibu.

"Mas Yuan."

Setelah beberapa saat berpikir, Jena tidak mempunyai pilihan lain selain menelepon Yuan –saudara tiri Semesta— yang tinggal di rumah utama. Agar tidak melukai perasaan Ibu, maka jalan keluarnya hanya satu, meminta Ibu datang ke rumah utama.

"Iya, Jena. Kenapa?"

"Maaf mengganggu. Mas Yuan sibuk?"

"Nggak juga, ada sesuatu?"

"Boleh aku minta tolong, Mas?"

"Apa?"

"Panggil Ibu ke rumah utama dan tahan Ibu di sana sekitar dua jam. Boleh, Mas?"

Yuan di seberang sana diam sejenak, sebelum lelaki itu kembali bersuara, "Kamu masih belum mau kasih tahu alasannya?" tanyanya yang membuat isak tangis Jena kembali terdengar meski gadis itu berusaha menahan sekuat yang ia bisa.

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang