Bab 24

6.3K 577 81
                                    

Selamat Membaca





Cepat banget 150 komentar wkwkwkw, makasi ya ciwi ciwinya semesta dan bestienya jenaa






"Aku mau hidup enak, Mas. Kamu yakin bisa memberikan itu ke aku sekarang?"

Semesta diam sejenak, menatap Jena yang terlihat sama hancurnya dengan dirinya itu. Seandainya Ibu masih hidup. Seandainya Papa tidak seegois itu, mereka sekarang mungkin sudah menjadi sepasang yang saling berbahagia.

"Untuk sekarang, aku memang belum bisa memberikan kamu itu, Na. Tapi, aku akan mengusahakannya. Aku akan—"

"Aku nggak mau menunggu," potong Jena menghentikan perkataan Semesta, "Aku nggak punya tenaga kalau kamu memintaku untuk bersabar lagi. Aku capek, Mas." Ia berbicara sembari air mata yang terus membasahi wajahnya, "Sekarang, atau lebih baik nggak usah sama kamu lagi."

Jena hendak melangkah pergi, namun Semesta memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Ia tidak mengatakan apapun, namun beberapa saat kemudian, isakan mulai terdengar dari mulut Semesta. Lelaki itu menangis keras sembari memeluk tubuh Jena erat.

"Maaf, Na. Maaf karena sekarang aku belum bisa memenangkan kita. Maaf karena kamu harus merasakan semua ketidak adilan ini. Maafin aku."

Untuk kali pertama dalam hidup keduanya, Semesta dan Jena menangis bersama dan saling menunjukkan bagaimana hancurnya mereka saat ini. Di tempat pemakaman Mama dan Ibu, keduanya membiarkan tangis itu tumpah begitu saja. Memilih berpisah di saat keduanya masih mempunyai keinginan kuat untuk bersama, sama dengan meminum racun. Semesta dan Jena membiarkan hati mereka remuk secara perlahan.

***

Sebulan kemudian, Jena mengurus semuanya dengan cukup cepat. Ia mengajukan kepindahan ke universitas baru. Berbekal Tabungan yang disimpan Ibu, gadis itu memilih meninggalkan Jakarta. Membiarkan Ibu tetap dikubur di tempat yang sama dengan Mama. Jena meninggalkan Jakarta, agar Semesta terus membaik.

Ia menghela napas pelan, dadanya sesak, langkahnya terasa berat. Jena sebenarnya kebingungan dan ketakutan bagaimana ia memulai semuanya sendirian di tempat baru. Namun, jika tidak memberanikan diri, keadaan bisa semakin memburuk.

"Tolong tunggu aku, Na."

Perkataan terakhir Semesta ketika mereka berpisah di tempat pemakaman umum itu kembali terlintas di kepala Jena. Gadis itu mendengus tidak percaya. Ia menghapus air mata di sudut matanya. Pembohong. Karena di hari kepergiaannya ini, Jena bahkan harus menerima kabar jika Semesta dan Elisa bertunangan hari ini.

Jena bangkit berdiri begitu pengumuman mengenai keberangkatannya terdengar. Ia pergi dan meninggalkan semua luka dan sakit hatinya di bandara sore ini. Di tempat baru, Jena akan memulai segalanya sendiri.

Tanpa Semesta.

Tidak jauh dari sana, Semesta berdiri sembari mengenakan topi dan masker hitamnya. Diam di tempat persembunyiannya sembari memerhatikan Jena sejak kedatangan gadis itu. Kedua tangannya mengepal erat. Menahan diri untuk tidak berlari kepada gadis itu dan memeluknya erat.

"Pilihan kamu hanya dua, Mas. Bertunangan dengan Elisa, atau membiarkan Jena hidup penuh kesusahan di luar kota sendirian?"

"Opa, Oma, dan Papamu akan membantu Jena di luar kota. Setidaknya kami akan memastikan kalau dia nggak tidur di pinggir jalan dan tetap punya penghasilan perbulannya. Kami akan melakukannya diam-diam tanpa sepengatahuan Jena."

"Jena akan hidup nyaman, Mas. Asalkan kamu menurut kepada kami, dan bertunangan dengan Elisa di waktu yang sudah kami tentukan."

Lagi dan lagi, Semesta tidak punya kuasa. Karena itu ia terpaksa mengiyakan permintaan para orangtua. Bertunangan dengan Elisa di hari kepergian Jena. Semesta terus menatap punggung Jena hingga gadis itu menghilang dari pandangannya, sebelum ponselnya berdering. Nama Bio tertera di sana. Adiknya itu pasti cemas karena ia belum juga kembali sedangkan pertunangannya diadakan tiga jam lagi.

Agar Jena tetap mempunyai rumah yang hangat dan tidak khawatir jika ia berkeinginan untuk membeli makanan enak. Agar Jena tidak kesusahan, Semesta akan melakukannya, bertunangan dengan gadis yang tidak ia inginkan.

***

Dua bulan setelah kepergian Jena

Semesta melangkah dengan langkah lebar dan ekspresi marah menuju ruang kerja sang papa. Sesampainya di sana, meski pun mengetahui jika Papa tengah bertemu dengan orangtua Elisa, Semesta tidak peduli. Lelaki itu membuka pintu dengan sedikit kasar, berjalan lurus ke arah Papa.

"Pembohong," ujarnya sembari menatap Papa penuh rasa marah dan kecewa.

"Ta." Yuan menyusul di belakang, ikut masuk dengan napas yang sedikit ngos-ngosan. Ia berjalan masuk, menatap orangtua Elisa beserta kakek nenek gadis itu dengan anggukan sopan. Ia meraih lengan Semesta, "Jangan sekarang, Ta."

Semesta tidak mendengarkannya. Tatapan lelaki itu fokus kepada Papa. "Papa bilang Jena hanya akan pindah ke Surabaya. Tapi, buktinya mana? Sesampainya aku di Surabaya, di alamat yang Papa infokan. Jena nggak ada di sana."

"Papa sedang ada tamu, Mas. Kami sedang membicarakan rencana pernikahan kamu. Jadi—"

"Persetan dengan rencana pernikahan sialan itu!" teriak Semesta marah. "Aku bersedia bertunangan hanya agar Jena bisa hidup nyaman meski tanpa aku didekatnya. Tapi, Papa mengingkari janji." Kedua matanya memerah, rasa marahnya mendominasi. Harus ke mana ia mencari Jena sekarang? Apakah gadis itu baik-baik saja? Apakah ia makan dengan lahap? Apa ia sudah memiliki rumah untuk tempat berteduh ketika hujan dan panas?

"Ada apa ini, Semesta? Siapa Jena?" tanya Papa Elisa ikut berdiri, dan mendekat kepada calon menantunya itu.

"Dia gadis yang saya cintai. Dia gadis yang membuat saya mau bertunangan dengan putri anda bahkan tanpa rasa suka sedikit pun."

"SEMESTA!" teriak Papa sembari bangkit berdiri.

"APA, PA?!" balas Semesta sama kerasnya. "Di mana Jenaku? Ke mana Papa mengirim Jena pergi? Beritahu aku sekarang, Pa."

Papa mengembuskan napas pelan, "Yuan, bawa Semesta keluar. Kita nggak bisa bicara sekarang," katanya yang membuat Yuan mengangguk pelan.

"Ta, keluar dulu sebentar." Ia mencoba menarik lengan Semesta, namun lelaki itu menyentak kasar tangannya.

"Lo sama paniknya dengan gue, An. Lo sama takutnya gimana Jena berkeliaran di luaran sana sendirian," ucap Semesta. Ia beralih kembali menatap sang papa. "Selagi aku belum menemukan Jena, jangan harap aku mau menikahi Elisa." Semesta berbalik badan, melangkah keluar ruangan sebelum perkataan Papa menghentikannya.

"Kamu nggak akan bisa menemukan keberadaan Jena, Mas. Jangan mempersulit diri kamu sendiri begini."

Kedua tangan Semesta mengepal dengan erat, "Bahkan meski harus terus mencari selama satu tahun, lima tahun, bahkan sepuluh tahun sekali pun, aku nggak akan menyerah, Pa. Aku akan menemukan Jena, sepintar apapun Papa menyembunyikannya. Karena kami akan selalu saling menemukan."





Iya ini pendek, jangan protesss. Jenanya istirahat dulu ya gaiss. Harus disiksa dulu dua-duanya hehe. Semesta harus jadi laki-laki dulu baru bisa ketemu Jena. Udah harus mapan dulu, supaya saat dua-duanya ketemu lagi (seandainya) udah sama-sama bisa melindungi hihi

Makasiii

Follow ig, wattpad, karyakarsa, tiktok : Rizcaca21

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang