Bab 32

5.7K 440 58
                                    

Selamat Membaca









Pagi ini, setelah drama tadi malam, Semesta, Bio, Tiara, dan Zahid, tengah duduk bersama di meja makan rumah Jena. Keempatnya duduk tanpa suara dan melihat menu masakan yang disiapkan Jena di sana. Semuanya tampak lezat. Bio dan Tiara bahkan tampak antusias karena mereka sudah lama sekali tidak memakan masakan Jena. Namun ...

"Hwlee ..."

Tiara memuntahkan makanan yang ia kunyah di piring, sedangkan Bio segera mengambil air putih untuk memaksa tenggorokannya menelan makanan di mulutnya. Semesta dan Zahid menatap keduanya bingung.

"Asin," kata Tiara sembari meraih gelas jus jeruk dan meminumnya, "Semuanya asin. Kayak makan garam," keluhnya dengan bibir mencebik.

Zahid tampak tidak percaya karena menurut semua cerita Semesta ketika lelaki itu mabuk, makanan Jena adalah makanan paling enak di dunia. Lelaki itu mengambil tumis tahu, sawi, dan tauge itu, meletakkan di piringnya sebelum meraih sendok dan memakannya. Namun, baru beberapa kunyahan, ia sudah hendak memuntahkan isi di dalam mulutnya sebelum Semesta memelototinya.

Zahid terpaksa menelannya dibantu dengan segelas air mineral. Ia berdeham pelan. "Mungkin dimakan pakai sambal, jadi rasanya balance," katanya berusaha meyakinkan Tiara dan Bio sembari kembali mencoba masakan Jena. Namun, lagi-lagi wajahnya seolah menjelaskan segalanya. "Lebih asin lagi," gumamnya pelan.

Ketiganya menatap ke arah Semesta yang mulai meraih nasi, mengambil cukup banyak dan memindahkan ke piringnya. Ia juga menambahkan sayur, udang goreng tepung, tahu goreng, dan sambal, sebelum mulai memakannya dengan raut wajah yang biasa.

Ketiganya tertegun, semua masakan yang tersaji di meja ini jelas asin dan tidak layak makan. Namun, Semesta memakannya dengan begitu lahap. Ia bahkan tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan isi piringnya itu, sebelum mulai mengisi piringnya lagi dengan nasi dan lauk pauk.

"Kalau nggak mau makan nggak apa-apa, tapi jangan bilang kalau masakan ini asin. Mbak Jena sudah bangun pagi buat masakin semuanya sendirian," ucap Semesta yang membuat ketiganya semakin terdiam.

Bagi sebagian orang mungkin hal ini adalah hal yang sederhana. Namun, bagi ketiganya, yang sudah mengenal baik dan buruknya Semesta sejak lama, mereka jelas mengerti jika Jena masih menempati posisi utama di dalam hatinya.

Lelaki yang terlalu pemilih dalam hal makanan itu, kini berusaha menghabiskan masakan yang asin karena itu adalah masakan Jena. Jika itu adalah masakan orang lain, sudah dipastikan jika semua piring di meja ini akan melayang ke tembok dan pecah begitu saja.

"Habis ini mas mau ngomong sama kamu, Dek." Kali ini tatapan lelaki itu bergeser kepada Tiara yang membuat gadis itu mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Bio, agar Semesta tidak bisa menatapnya.

Tidak berapa lama kemudian, Jena datang dengan tampilan yang lebih segar. Gadis itu tersenyum, duduk di kursi tunggal yang ada di tengah sebelum mulai meraih piring, mengisinya nasi dan lauk puk. Mulai makan sebelum setelah beberapa kunyahan, gadis itu segera meminum jus jeruknya.

Wajahnya tidak jauh berbeda dari Tiara, Bio, dan Zahid tadi. Jena menatap Semesta, melihat bagaimana lelaki itu makan dengan tenang dan tampak lahap. Tiba-tiba saja kedua matanya berair, gadis itu tidak mengatakan apapun sebelum beranjak berdiri dan berjalan menjauh begitu saja.

Hatinya sesak, dadanya berat, ia akan luluh jika terus menerus begini. Semesta dengan segala sikap baiknya sekarang, Jena ingin sekali langsung menerimanya. Namun, bagaimana jika lelaki itu kembali gagal mempertahankannya? Sama seperti empat tahun yang lalu?

*

Jena mencari keberadaan Semesta di depan rumahnya, menemukan lelaki itu yang tengah berada di teras rumahnya sendiri sembari menatap kolam ikan yang sengaja dibangun di ujung halamannya.

"Ini."

Semesta menoleh, melihat uluran ice cream cokelat yang Jena bawakan untuknya. Lelaki itu tidak langsung menerimanya, ia menatap Jena dengan alis terangkat penuh tanya.

Jena menghela napas pelan, ia membuka bungkus ice cream itu sebelum memberikannya ke tangan Semesta, "Supaya asinnya hilang dari mulut kamu," katanya yang membuat Semesta tersenyum dan mulai memakan ice cream cokelat itu.

Jena jongkok, meraih wadah berisi pakan ikan, sebelum mulai memberi ikan-ikan milik Semesta itu, "Empat tahun ini, aku jarang ke dapur, selain sedih karena terus menerus ingat Ibu, aku juga sibuk kerja supaya bisa dapat uang," ujarnya pelan. Ia mengulum senyum tipis, "Kalau Ibu tahu masakanku amburadul kayak tadi, aku pasti kena omel, aku sudah nggak bisa masak sekarang," katanya.

Usapan di kepalanya membuat Jena termenung, ia menoleh, mendongak menatap Semesta yang menunduk dan tersenyum kepadanya, "Masakan kamu masih enak kayak dulu kok, Na. Cuman tadi kekurangan garam saja."

Jena mendengus sebelum tertawa sembari bangkit berdiri, berhadapan dengan Semesta yang juga masih tersenyum menatapnya, "Aku pikir kamu nggak mau ketemu aku lagi setelah kejadian malam itu. Setelah kamu tahu pekerjaan apa yang aku lakukan selama di Surabaya. Aku pikir kamu jijik sama aku, Mas."

Jemari Semesta bergerak, menyentil pelan kening Jena, "Berhenti menduga-duga, dan langsung tanya apapun ke aku, Na." Setelahnya, ia mengusap lembut kening Jena, "Aku menghilang karena aku berusaha menyelesaikan apa yang harusnya selesai sejak lama. Aku ingin kita kembali, tanpa kamu yang harus mengkhawatirkan apapun ketika bersamaku lagi, Na."

Ia tersenyum, tatapnya penuh keyakinan seolah mengatakan kepada Jena jika semuanya sedang ia usahakan dengan sebaik-baiknya, "Meski kamu belum berkata iya, tapi anak tangga itu sedang aku susun satu persatu, Na. Supaya nantinya kamu nggak akan kesusahan saat akhirnya memutuskan untuk kembali berjalan dengan aku lagi."

Jena tidak menjawab apapun, meski tatap Semesta menyiratkan kesungguhan, meski kali ini lelaki itu terlihat jika ia siap menerjang apapun yang menjadi penghalang di antara mereka. Jena hanya—

Mobil yang tiba-tiba berhenti di depan rumah Semesta yang terlihat tidak sabaran itu membuat Jena dan Semesta menoleh. Ridwan berjalan keluar dari pintu kemudi, dan berlari menghampiri Jena, lalu meraih tangan gadis itu.

"Mbak Aya, ayo ke rumah sakit sekarang, Mbak. Pak Hasyim masuk ICU, beliau mau melihat Mbak Aya dan A Refal sekarang." Wajahnya tampak merah, Ridwan terlihat gemetar dan ketakutan.

"Jadi, menantu saya saja, bagaimana Jena?"

Jena tertawa mendengarnya, "Kenapa harus saya, Pak?"

"Karena Refal menyukai kamu."

"A Refal nggak pernah bilang begitu."

"Dia malu dan bingung bilangnya ke kamu. Saya papanya, saya mengerti dia. Refal nggak bisa diatur, tapi dengan kamu segalanya dia iyakan. Meski tidak pernah mengatakannya dengan jelas, namun saya mengerti kalau Refal menganggap kamu istimewa."

Jena tidak menjawabnya saat itu, ia hanya tersenyum tipis, sebelum Pak Hasyim meraih tangannya dan menepuknya beberapa kali. Tatapan hangatnya selalu membuat Jena merindukan Ayahnya.

"Hidup bahagia dalam waktu yang lama bersama Refal ketika saya sudah tidak ada lagi di dunia ini ya, Na. Titip Refal. Kalian harus saling menjaga satu sama lain."

Dan, saat itu, anggukan tipis serta senyuman hangat Jena berikan sebagai jawaban kepada Pak Hasyim.






Kira-kira Jena bakal tetap sama Refal karena rasa balas budinya ke Pak Hasyim, atau memulai segalanya dari awal lagi bareng Semesta?

Coba tebak di kolom komentar.

Thank you gaiss

Follow ig, tiktok, wattpad, karyakarsa : Rizcaca21

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang