Selamat Membaca
"Papa melihat kamu pelukan dengan Jena di dapur malam itu," ucap Papa ketika ia dan Semesta tengah duduk berdua di taman belakang, tengah merokok bersama. Hari ini tepat tujuh hari setelah kepergian Ibu. Semesta mengadakan pengajian bersama tadi. Jadi, Papa dan Yuan hadir di rumahnya. Termasuk Elisa yang sudah pulang pukul sepuluh tadi.
Papa menoleh, menatap Semesta yang tidak terpengaruh dengan ucapannya sama sekali. Ia masih menatap lurus ke depan, menatap langit malam yang cukup gelap malam ini. "Ini belum waktunya, Mas. Dan, jangan Jena."
"Kenapa?" Begitu mendengar nama Jena, respons Semesta begitu cepat. Ia menoleh, menatap sang papa dengan tatapan tidak suka. "Kenapa nggak boleh dengan Jena? Dan, kenapa ini belum waktunya?"
"Kamu benar-benar nggak tahu ya, Mas?" Papa menghela napas pelan, "Kamu adalah calon untuk meneruskan semua usaha papa. Kamu akan menggantikan posisi papa nantinya. Karena itu jangan memikirkan hal-hal yang nggak penting. Semuanya sudah ditentukan, termasuk dengan siapa nantinya kamu bersama."
Semesta mendengus tidak percaya, ia membuang rokoknya ke bawah, dan menginjaknya dengan sandal hingga apinya padam. "Dengan siapa aku bersama itu urusanku, kalau aku mau Jena, siapapun itu termasuk Papa, nggak akan bisa menghantikan aku kecuali Jena sendiri yang memintanya." Ia bangkit berdiri, hendak kembali masuk ke dalam rumah sebelum ...
"Papa nggak main-main, Mas." Papa menatap anak sulungnya itu dengan tegas. "Kalau kamu nggak bisa menuruti permintaan papa, maka semuanya akan papa berikan kepada Yuan. Semuanya, Mas. Papa nggak suka dengan anak yang suka membantah."
"Selama ini papa selalu menuruti permintaan kamu, apapun papa kabulkan. Dan, sekarang saatnya kamu menuruti permintaan papa." Lelaki itu ikut mematikan rokok di tangannya, sebelum kembali berbicara, "Biarkan Jena pergi dari rumah ini. Ibunya sudah meninggal, nggak ada alasan lagi untuk Jena tetap berada di sini."
"Jena sendirian," kata Semesta penuh penekanan.
"Lalu, kenapa? Bukan jadi tanggung jawab kamu untuk menemani dia, kan?" balas Papa dengan santai yang membuat kedua tangan Semesta mengepal erat.
"Silakan, Pa. Berikan semua kepada Yuan, aku nggak peduli. Kalau kehilangan semua yang Papa berikan bisa membuat aku mempertahankan Jena, maka aku akan melakukannya. Aku bisa mengurus Jena dan dua adikku sendiri." Tatapan Semesta mengarah tajam kepada Papa. "Dengan Papa atau enggak, rasanya juga akan sama aja. Karena sejak dulu pun, aku nggak pernah benar-benar merasakan gimana rasanya punya Papa."
Semesta melanjutkan langkahnya, memasuki dapur dengan marah. Tanpa sadar dibalik kulkas, Jena bersembunyi di sana. Mendengarkan dengan jelas bagaimana percakapan antara anak dan Ayah itu. Ia menatap kepergian Semesta dengan tatapan sedih. Jena tidak mau menjadi alasan putusnya hubungan Semesta dengan Papanya.
Jika kepergiannya bisa membuat hubungan keduanya membaik, maka Jena mungkin akan melakukannya. Kehadirannya tidak boleh menjadi bencana untuk keluarga Semesta.
***
"Atas perintah Bapak, dua mobil dan satu motor itu harus kami ambil, Mas."
Pagi ini, tiga orang yang merupakan bawahan dari sang papa, mengatakan akan mengambil dua mobil dan satu motor yang ada di rumah ini. Papa seolah menepati perkataannya, ia akan mengambil semuanya jika Semesta tidak mau menuruti perkataannya untuk membiarkan Jena pergi dari rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTANYA JENA
RomanceSemesta sudah memiliki banyak beban di usianya yang masih muda. Hidup Jena mungkin susah, namun menjadi Semesta jauh lebih susah. Dan, ketika lelaki itu akhirnya menemukan kebahagiaannya pada diri gadis lain, maka Jena tidak berhak merasa marah. Ia...