Bab 38

5.5K 454 56
                                    

Selamat Membaca







Semesta menghela napas berat, entah sudah ke berapa kalinya. Ia merindukan Jena. Namun, gadis itu belum membalas pesannya sejak semalam. Semesta sudah meneleponnya, namun Jena juga belum mengangkatnya. Semesta ingin menerornya, namun lelaki itu takut jika nantinya Jena akan risih dengan sikapnya.

"Ini daftar nama pemegang saham di pabrik snack, Pak. Kebanyakan beliau-beliau ini adalah orang kepercayaan Bapak. Jadi, sudah jelas jika terjadi sesuatu, mereka akan berpihak ke Pak Semesta. Dan—"

"Hid," panggil Semesta memotong perkataan Zahid.

"Ya, Pak?"

"Menurut kamu, kenapa Jena belum juga membalas pesan atau mengangkat telepon saya?"

"Ya?" Zahid mengerjab pelan. Jadi, sejak tadi bosnya itu tidak mendengarkan penjelasannya. Ia terlihat berpikir, namun yang ada di kepalanya hanya Jena?

"Saya bilang, saya mau menemani dia ke Bandung, tapi dia menolak. Dia bilang akan menghubungi saya ketika sampai di sana, tapi sampai sekarang belum ada kabar sama sekali. Saya khawatir, tapi tiba-tiba Refal mengirim fotonya bersama Jena yang tengah makan malam bersama," keluhnya yang sejak semalam seolah tidak bersemangat melakukan apapun.

Zahid menghela napas pelan, ia meletakkan tabletnya di meja yang membuat Semesta menatapnya, "Memang boleh ya, Pak? Segalau ini padahal nggak ada hubungan apa-apa?" tanyanya yang membuat Semesta melotot menatapnya. "Kalau Pak Esta memang sekhawatir ini, kenapa nggak langsung disusul ke Bandung saja? Bandung, Pak. Bukan Korea Selatan atau Jepang. Bapak nggak perlu naik pesawa—" perkataannya terhenti ketika Semesta bangkit berdiri dengan cepat, meraih tas dan ponselnya sebelum berlari keluar ruangan begitu saja.

"Mulut lo memang sampah, Hid," gerutunya sembari kembali meraih tabletnya, sekarang ia yang harus mengatur ulang semua jadwal Semesta, karena perkataannya sendiri.

*

"Mas?"

Sore ini, ketika Jena baru saja tiba di rumahnya setelah sejak semalam berada di rumah Pak Hasyim, dikejutkan dengan keberadaan Semesta yang duduk di teras rumahnya sendiri.

"Kamu ngapain?" tanya Jena sembari berjalan mendekat ke lelaki itu.

"Aku khawatir, kamu nggak balas chat atau angkat teleponku," jawabnya jujur yang membuat Jena menghela napas pelan.

"Sejak semalam hapeku batrainya habis, aku lupa bawa charger. Mau minjam di rumah Pak Hasyim juga nggak sempat, soalnya sibuk ngobrol sama beliau dan A Refal. Maaf, ya?"

Anggukan serta senyuman tipis Semesta berikan, "Nggak apa-apa." Ia meraih keresek putih di meja yang ada di sampingnya. "Mau makan bareng enggak, Na? Aku tadi beli ayam, kentang sama burger."

Jena diam mendengarnya, ia menatap raut wajah Semesta yang tampak sangat antusias. Gadis itu menyadarinya, Semesta sudah banyak berubah. Namun, masih ada sedikit keraguan di dalam hatinya untuk kembali bersama. Apalagi, setelah pembicaraannya dengan Pak Hasyim tadi.

*

Setelah membersihkan diri, Jena turun ke lantai satu, berjalan menuju ruang tengah, melihat Semesta yang sudah menyiapkan segalanya di meja. Lelaki itu tersenyum menyambut Jena.

"Aku tadi ambil es batu di kulkas," katanya yang dijawab Jena dengan anggukan pelan.

"Kok, kamu belum makan, Mas?"

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang