Selamat Membaca
"Dalam proses seleksi, nggak ada aturan kalau Jena punya lo. Selagi lo belum bisa memberikan komitmen apapun, bersama dengan siapapun itu haknya Jena," potong Yuan dengan begitu santai. "Belum selesai sama orang lama, kenapa seberani ini melibatkan orang baru?"
Semesta mengembuskan napas kasar, mengacak rambutnya kesal, "Kenapa lo selalu bilang kalau gue belum selesai sama masa lalu gue? Lo ngerti isi hati gue, An? Jangan menyimpukan sesuatu seenak kemauan lo sendiri."
Mendengarnya, Yuan mendengus tidak percaya. Ia melemparkan keresek berisi sampah bekas makan malam Jena tadi. "Lo bawa Jena keluar untuk makan malam, kan? Seenggaknya sebelum focus sama mantan pacar kesayangan lo itu, pastiin dulu perut Jena udah terisi penuh," sarkasnya sebelum ia menoleh, memberikan usapan lembut di lengan Jena.
"Na, bangun mau?" bisiknya lembut, "Semesta udah keluar, katanya kamu mau pulang. Bangun dulu, tidurnya dilanjut kalau udah sampai rumah."
Semesta melihatnya, meski sudah lewat tengah malam, namun matanya tetap awas. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana Yuan memperlakukan Jena dengan sangat baik. Jika terus begitu, bukan tidak mungkin jika Jena akan luluh.
Jena menguap lebar dan bangkit berdiri, dengan mata yang masih mengantuk ia menatap Semesta, "Sebentar ya, Mas. Aku ke kamar mandi dulu," katanya sebelum berjalan menjauh.
Yuan bangkit berdiri setelah Jena tidak ada di antara mereka. Ia menjulang sama tinggi dengan Semesta, "Tadinya gue mau antar Jena balik, tapi karena gue bawa motor, dan Jena pakai rok, gue urungkan niat itu. Gue nggak tahu apa yang Jena lihat dari lo, sampai dia bisa sesabar ini menghadapi tingkah laku lo, karena dari segi mana pun, lo jelas masih jauh di bawah gue, Ta."
***
"Hai."
"Hai," sapa Jena bingung begitu melihat Yuan pagi ini yang sudah berada di rumah Semesta, "Pagi banget, ada keperluan apa, Mas?" tanyanya sembari menghampiri lelaki yang masih duduk di atas motornya itu.
"Aku dengar fakultas kamu lagi mengadakan acara pagi ini, dan kebetulan si ganteng ini—" ia menepuk motornya beberapa kali, "Lagi pengin jalan-jalan, terus aku lupa ternyata jok belakang masih kodong."
Jena tertawa mendengarnya, "Mau antar aku, kan? Panjang banget pembukaannya."
"Takut ditolak kalau langsung ke intinya," sahut Yuan yang membuat Jena tertawa, sebelum mengangguk.
Keduanya akhirnya berangkat ke kampus bersama. Sejak pagi subuh tadi, Semesta sudah menghilang dari rumah. Lelaki itu tidak mengatakan ia akan ke mana, Semesta hanya bilang jika ia harus menjenguk temannya yang sakit kepada Ibu, dan Jena menebak jika itu adalah Sania.
Bersama Yuan, Jena selalu merasa diistimewakan. Gadis itu sudah mengetahuinya, bagaimana perasaan Yuan kepadanya. Namun, Jena memilih pura-pura tidak tahu. Perasaannya masih begitu besar kepada Semesta, dan Jena tidak ingin melibatkan orang lain sebagai penghilang rasa itu.
Jika pun akhirnya Jena harus melupakan perasaannya kepada Semesta, maka ia akan melakukannya demi dan untuk dirinya sendiri. Bukan orang lain. Karena menjadikan seseorang sebagai pelarian di saat luka itu disebabkan oleh orang lain, adalah hal yang jahat. Jena sudah pernah merasakannya, karena itu ia tidak ingin membuat Yuan menjadi dirinya.
*
Sejak siang tadi, Yuan terus menemani Jena di acara yang diadakan di fakultasnya. Banyak mahasiswa yang mengenal Yuan dan menyapanya, hal itu seolah memperjelas gosip yang terus beredar, jika Yuan dan Jena memang tengah menjalin hubungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTANYA JENA
RomanceSemesta sudah memiliki banyak beban di usianya yang masih muda. Hidup Jena mungkin susah, namun menjadi Semesta jauh lebih susah. Dan, ketika lelaki itu akhirnya menemukan kebahagiaannya pada diri gadis lain, maka Jena tidak berhak merasa marah. Ia...