Bab 30

4.7K 383 19
                                    

Selamat Membaca








"Mas!" jerit gadis itu kesal. "Kamu mau ke mana?"

"Ya, kamu katanya aku disuruh sembunyi. Aku mau pulang masih salah juga?"

*

Semesta bersembunyi didalam kamar Jena sesuai arahan gadis itu. Samar-samar di lantai satu, lelaki itu bisa mendengar suara milik Refal yang tengah tertawa dengan Jena. Ia mendengus, memilih mengabaikan itu sebelum matanya mengedar, melihat seisi ruang kamar Jena, dan ... Semesta berhenti di depan nakas, termenung melihat jejeran foto yang ada di sana.

Foto Ibu dan Mama tepat berada di tengah, lalu di samping kanan terdapat foto Semesta, Jena, bersama dengan Bio dan Tiara. Lalu, di samping kiri, terdapat foto mereka berdua. Jena masih menyimpannya. Itu berarti Semesta mungkin masih memiliki kesempatan.

Lelaki itu tersenyum, meraih fotonya bersama Jena sebelum mengusap lembut bingkai itu. Sesaat kemudian lelaki itu menoleh begitu mendengar suara pintu yang terbuka. Jena berada di sana, gadis itu tampak terkejut sebelum berjalan cepat dan meraih foto yang ada di tangan Semesta begitu saja.

"A Refal udah pergi, kamu bisa pulang ke rumah kamu, Mas."

Namun, perkataan Jena tidak membuat Semesta beralih, lelaki itu menatap lurus ke arah Jena, "Foto-foto itu ada didalam kamar kamu bukan tanpa alasan, kan?"

Jena mendengus mendengarnya, "Pulang, Mas. Aku nggak mau bicara apapun lagi sama kamu." Ia mencoba mendorong tubuh besar Semesta untuk keluar dari kamarnya, namun lelaki itu tidak bergerak dari tempatnya.

"Aku akan pulang, setelah aku mendengar jawaban kamu," jawab Semesta tegas. "Bilang kalau aku memang masih memiliki kesempatan, Na. Bilang kalau jauh dari dalam hati kamu, rasa ingin kembali itu masih ada."

Jena menunduk, genggamannya pada bingkai di tangannya mengerat, bayangan empat tahun harus berjuang sendirian tanpa siapapun membuat kedua mata gadis itu berkaca-kaca. "Kamu salah, Mas," balasnya pelan dengan suara yang bergetar menahan tangis. "Aku masih menyimpan foto kita bukan karena aku ingin kembali. Itu semua aku lakukan supaya rasa dendamku semakin kuat setiap harinya. Aku kembali untuk membalaskan dendamku, Mas. Untuk menghancurkan keluarga kamu, terutama Papa kamu."

Air mata Jena meluruh begitu melihat bagaimana tatapan Semesta kepadanya sekarang. Lelaki itu masih menatapnya dengan tatapan teduh. Tatapan yang sama seperti empat tahun yang lalu, ketika Jena mengadu bagaimana kesalnya ia hari itu.

"Jangan beranggapan seolah aku masih Jena yang dulu, kamu udah tertinggal jauh dalam mengenalku, Mas." Gadis itu mendekat ke nakas, mengembalikan kembali bingkai itu di tempat semula, sebelum ...

"Apa setelah kamu melakukannya, rasa sakit hati kamu akan terbalaskan, Na?" tanya Semesta sembari menatap punggung rapuh Jena, "Harus sehancur apa keluargaku supaya kamu bisa merasa puas, Na? Apa aku harus diam-diam membantu kamu supaya rasa sakit yang dirasakan Papaku semakin besar?" tanyanya yang membuat Jena berbalik, menoleh ke arahnya dengan cepat.

"Mas ..."

Anggukan pelan Semesta berikan, "Akan aku lakukan, Na. Secepatnya. Dendam kamu harus terbalaskan. Rasa sakit kamu, juga harus dirasakan oleh Papaku. Jangan khawatir kalau aku akan meminta imbalan untuk ini, Na. Karena aku akan melakukan apapun yang membuat kamu bahagia, termasuk menghancurkan Papaku sendiri."

Dan, Jena hanya bisa diam setelah mendengar perkataan Semesta, membiarkan lelaki itu berjalan keluar dari kamarnya begitu saja. Gadis itu berbalik sembari menghapus kasar air mata di pipinya, lalu tanpa sengaja tatapnya bertemu dengan bingkai foto Ibu dan Mama. Jena mendekat, membawa foto itu dan duduk di ranjang. Sesaat kemudian ia menangis keras sembari memeluk foto dua wanita yang sangat ia sayangi itu.

***

Sudah hampir tiga hari ini, Jena tidak melihat keberadaan Semesta. Rumah lelaki itu sepi, hanya terlihat asisten rumah tangga yang beberapa tengah membersihkan rumahnya. Jena mungkin penasaran ke mana Semesta pergi, namun gadis itu memutuskan untuk tidak bertanya.

Hujan deras disertai petir malam ini, membuat Jena hanya bisa duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Jalanan komplek semakin sepi, dan empat tahun berlalu namun gadis itu masih sedikit ketakutan jika dihadapkan dengan situasi begini.

Ketukan di pintu rumahnya membuat Jena mengerutkan kening, pukul setengah 12 malam, siapa yang bertamu? Gadis itu melangkah pelan menuju jendela, menyibak gorden, dan mengerutkan kening melihat lelaki asing yang tengah mengenakan helm itu. Namun, ketika kaca helm itu dibuka, dan memperlihatkan Semesta yang tengah tersenyum sembari mengangkat tinggi keresek di tangannya entah kenapa membuat Jena menghela napas lega.

"Kamu ngapain, Mas?" tanya Jena setelah ia membukakan pintu. Menyadari jika tubuh lelaki itu basah kuyup.

"Aku habis pulang, terus lihat soto ayam yang sering kamu makan buat sarapan masih buka. Aku beli karena kamu pasti nggak bisa tidur kalau hujan gini." Ia menyerahkan kantung keresek itu yang membuat Jena termenung. Hujan deras dan tengah malam begini, bukannya mempercepat untuk sampai rumah, lelaki itu justru masih mengingatnya? Setelah apa yang sudah Jena katakan kepadanya beberapa hari yang lalu?

Jena masih dibuat bingung dengan perasaannya sebelum gadis itu menjerit kuat ketika petir menyambar begitu keras dan Listrik mati seketika. Tanpa sadar tangannya sudah meraih ujung jaket yang Semesta kenakan.

"Nggak apa-apa, Na. Kayaknya memang lagi pemadaman." Semesta mengusap lembut tangan Jena di ujung jaketnya, yang membuat gadis itu buru-buru melepaskannya dan melangkah mundur, memberi jarak di antara mereka. Lelaki itu terkekeh pelan, "Ada senter, kan? Nyalain sambil makan soto." Ia kembali menyerahkan kantung keresek itu yang diterima Jena dengan ekspresi merajuk.

"Dihabisin ya, aku pulang dulu."

Langkah Semesta terhenti begitu ia merasakan tarikan kuat di jaketnya, ketika menoleh, lelaki itu melihat Jena yang memegangi jaketnya sembari menunduk ke bawah.

"Na?"

"Ikut."

"Hah?" Semesta mengerutkan kening. "Ikut? Ikut ke mana?"

"Ke rumah kamu."

Semesta tidak memberikan sahutan apapun, lelaki itu hanya mengerjab bingung setelah mendengar perkataan Jena yang cukup mengejutkan untuknya. Beberapa saat menunggu dan tidak ada jawaban dari Semesta, membuat Jena mendongak, menatap Semesta yang tampak syok itu dengan wajah cemberut.

"Kayaknya senter di rumahku batrainya habis, belum sempat ku charger, jadi makan soto di rumah kamu aja, boleh, Mas?"

Gadis itu tidak sedang menggoda Semesta, bukan?




Kira-kira Jena beneran lagi ngegoda Semesta enggak?

Spesial bab 30 ada di karyakarsa, di bab kali ini agak dewasa sedikit ya ciwi-ciwi, jadi harap maklum, soalnya Semesta sama Jena juga udah sama-sama dewasa hihi

Hujan, dingin, cuman berdua di rumah, plus lampu mati. 

Thank you.

Follow ig, wattpad, karyakarsa, tiktok : Rizcaca21

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang