Bab 35

5.6K 491 59
                                    

Selamat Membaca







Jena duduk dengan gelisah di depan ruang tunggu ICU, ia membiarkan Semesta dan kedua adiknya kembali ke Jakarta tanpa dirinya. Namun, gadis itu tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Jauh di dalam hatinya, ia ingin menemani. Jena ingin berada di sana, saling berduka bersama dengan Semesta. Namun ...

"Berat ya, Na?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Semesta membuat Jena menoleh. "Badan kamu di sini, menemani aku dan Papa. Tapi, hati dan pikiran kamu mencemaskan Semesta dan adik-adiknya," katanya seolah bisa membaca pikiran Jena. "Selama apapun aku memerhatikan Semesta, aku belum menemukan alasan yang membuat kamu sesulit itu untuk melupakan dia."

Gadis itu tidak bisa menjawab apapun, karena yang dikatakan Refal memang benar. Jika dibandingkan saat ini, semua perempuan pasti sepakat jika Refal jauh lebih unggul dari Semesta. Namun, mau sesempurna apapun rumah milik orang lain, rasa nyaman itu tetap dimiliki oleh rumah kita sendiri.

"Entah seerat apa hubungan di antara kalian dulu, tapi rasanya nggak adil kalau kamu terus melibatkan masa lalu kamu dengan orang baru yang mencoba memulai segalanya dengan niat baik, Ya."

Jena tahu itu, Jena memahaminya dengan jelas, namun ketika bersama Refal atau yang lainnya, kepalanya sering kali menyimpulkan jika masih belum ada rasa pulang yang paling nyaman seperti yang diberikan Semesta kepadanya.

"Mau aku antar pulang ke Jakarta sekarang?"

"A." Jena menatap Refal dengan terkejut. Bagaimana bisa ia bertanya begitu? Mereka sekarang—

"Ridwan sebentar lagi ke sini. Dokter pribadi Papa juga sudah kembali dari Sukabumi." Ia tersenyum menatap Jena, sebelum mengusap lembut sisi kepala gadis itu, "Aku benci melihat kamu yang terus memaksakan diri begini, Ya."

"Aku nggak memaksakan apapun, A. Aku memang mau di sini, menemani Pak Hasyim dan kamu."

Refal menggeleng mendengarnya, "Aku mengusahakan kamu untuk terus hidup dengan bahagia, dan kalau bersamaku adalah luka baru lagi untuk kamu, terus untuk apa usahaku selama ini, Ya?"

Kali ini Jena benar-benar dibuat takjub dengan pemikiran Refal. Sejak dulu, lelaki itu masih sama. Kedua mata Jena berkaca-kaca dan mengalihkan pandangan ke arah lain, Refal masih sebaik dulu, namun Jena tidak bisa merasakan apapun untuk lelaki itu.

"Jenaya, aku akan bertanya lagi." Refal meraih tangan Jena, menggenggamnya erat yang membuat gadis itu menoleh kepadanya. "Dan, pertanyaan ini hanya akan aku ulang sekali. Kamu mau aku antar kembali kepada Semesta?"

Setetes air mata jatuh di pipi Jena, sebelum gadis itu menunduk dan memberikan anggukan pelan kepada Refal yang membuat lelaki itu ikut mengangguk. Ia menepuk pelan kepada Jena, "Ayo pulang dulu, seenggaknya kamu harus berpakaian rapi sebelum bertemu kembali dengan semua keluarganya Semesta," katanya yang membuat isakan Jena mulai terdengar.

***

Tidak ada air mata yang keluar ketika Semesta tiba di rumah sakit, keluarga besarnya sudah berada di sana. Yuan tampak sangat kehilangan, kali ini Elisa yang menemaninya bersama dengan keluarga gadis itu. Tiara dan Bio menangis di depan jenazah Papa, namun Semesta hanya diam. Papanya meninggal, mereka tidak akan bertemu lagi, namun Semesta bingung harus bagaimana.

"Jenazahnya masih akan dimakamkan besok, nunggu saudara Papa kamu balik dari Singapura dulu, nggak apa-apa kan, Semesta?"

Anggukan pelan Semesta berikan sebagai jawaban, sejak tadi silih berganti beberapa orang bertanya kepadanya untuk memastikan sesuatu, yang dijawab lelaki itu dengan anggukan pasrah. Semua orang yang datang di rumah sakit malam menjelang pagi ini, memposisikan Semesta sebagai anak tertua, padahal selama ini peran Papa tidak pernah ada untuknya.

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang