Bab 33

5.5K 461 83
                                    

Selamat Membaca








Ridwan sesekali melirik ke belakang melalui kaca spion yang berada di tengah, menatap bagaimana empat orang duduk berdesakan di barisan tengah. Ia juga kembali melirik Jena yang duduk di sampingnya, melihat tatapan cemas sekaligus khawatir di sana.

Ia kembali menghela napas, melirik ke belakang sebelum menemukan Tiara yang tengah memelototinya, yang membuat Ridwan segera memalingkan wajahnya ke depan. Gadis kecil itu sejak tadi terus menatapnya dengan tatapan tidak suka, secara terang-terangan.

"A Refal sudah di sana?" tanya Jena yang dijawab anggukan oleh Ridwan.

"Aa langsung ke sana setelah mendengar kabar dari Bapak, Mbak."

Tatapan matanya memang sibuk mengarah ke jalan, namun kepalanya sibuk menerka-nerka. Jena terlihat begitu dekat dengan Semesta dan keluarganya, jika memang begitu, bagaimana nasib Refal?

Sesampainya di rumah sakit, tepatnya setelah Ridwan memarkirkan mobilnya di tempat parkir, mereka berlima berlari kecil menuju ruang ICU di mana Pak Hasyim tengah berada di dalam sana.

Awalnya, Ridwan masih bisa berlari di sisi Jena, namun beberapa saat kemudian dorongan kuat lelaki itu terima yang membuat tubuhnya terhuyung ke tembok. Lelaki itu melotot tidak percaya begitu menyadari jika yang baru saja mendorongnya adalah Tiara. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, gadis kecil itu menjulurkan lidah mengejek, sebelum menggantikan posisi Ridwan yang berlari di samping Jena.

Bio dan Zahid tampak menahan tawa, sebelum berjalan cepat mengejar Jena dan Tiara. Lalu, di barisan paling akhir, Semesta berhenti, mengulurkan tangan dan membantu Ridwan bangun akibat ulah adik bungsunya itu.

"Dia bisa lebih galak dari itu kalau kepunyaan dia, mau diambil sama orang lain," ucap Semesta.

"Kepunyaan?" ulang Ridwan bingung.

"Mbak Aya kamu, dan Jenanya saya, dia milik kami." Lelaki itu menepuk pelan bahu Ridwan, sebelum memberikan remasan kuat yang membuat Ridwan meringis kesakitan. Semesta tersenyum, melepaskan tangannya dan berjalan menyusul yang lainnya.

Sembari memegangi bahu kanannya yang terasa nyeri, Ridwan bergumam pelan, "Satu keluarga nggak ada yang waras."

*

Sejak tadi, Semesta hanya bisa berdiri diam dan menyandar di tembok melihat Jena yang duduk berdampingan bersama dengan Refal itu. Tangan gadis itu sejak tadi berada di paha Refal, saling menggenggam dengan erat, seolah saling memberikan kekuatan yang membuat Semesta harus berusaha menahan dirinya untuk tidak meledak saat ini juga.

"Pasien sudah bisa dijenguk." Salah satu perawat memberikan informasi yang membuat Refal berdiri sembari menarik tangan Jena. Tanpa memedulikan keberadaan Semesta dan adik-adiknya, Refal menggandeng tangan Jena erat untuk sama-sama masuk ke dalam ruang ICU.

Bibir Tiara mencebik dan matanya mulai berkaca-kaca, "Kalau Mbak Jena diambil sama Mamang Rafael itu bagaimana?" ucapnya yang membuat Ridwan mengembuskan napas kasar.

"A Refal, bukan Mamang Rafael," koreksinya yang membuat Tiara langsung memberikannya tatapan sinis. "Mamang Rafael kan yang viral makan seblak," gerutunya sebelum berdiam diri begitu Semesta sejak tadi terus memberinya tatapan tajam. Ia menyengir lebar, sebelum menunduk sopan.

*

Beberapa saat kemudian, Refal dan Jena keluar, keduanya tampak tidak baik. Wajah Jena penuh dengan bekas air mata, sedangkan kedua mata Refal tampak basah dan memerah. Jena menghampiri Ridwan dan berbicara dengan lelaki itu, sedangkan Refal mendekat ke arah Semesta, lalu ...

"Bisa bicara berdua sebentar?" tanya Refal yang langsung dijawab Semesta dengan anggukan pelan. Mereka memang harus bicara. Semesta menahan diri karena ini bukan situasi yang baik, namun jika Refal memulainya, maka tidak ada alasan untuknya mundur.

"Sebesar apa rasa ingin kembali yang lo miliki untuk Aya?" tanya Refal ketika mereka telah melangkah menjauh dari ruang ICU.

"Lebih besar dari harapan Pak Hasyim untuk menjadikan Jena menantunya," jawab Semesta santai yang membuat Refal tersenyum mendengarnya.

Refal mengembuskan napas pelan, Jena bahagia bersamanya dan sang papa. Lingkungan mereka hangat dan nyaman, mampu memberikan Jena rasa tenang. Namun, gadis itu tidak bisa berbohong lebih jauh.

Karena Refal mampu merasakannya. Bahkan jika kapal milik Semesta sudah banyak yang retak, dan membuat air laut masuk, namun di sana lah rasa nyaman yang selalu Jena rindukan ada. Kapal itu hampir tenggelam, namun Jena tidak akan mau benar-benar meninggalkannya. Tidak sampai di tempat tujuan tidak apa-apa, asal Jena masih bersama dengan orang-orang yang sama, yang sejak awal telah menyusun kerangka hingga kapal itu utuh.

"Orangtua mana yang nggak meletakkan harapan besar ke seseorang yang rasanya, dia adalah sumber ketenangan untuk anaknya?" balas Refal dengan mengajukan pertanyaan. "Gue nggak suka diatur, gue suka kebebasan. Tapi, sama Aya, perlahan gue mulai bisa melihat jalan untuk pulang ke rumah," katanya.

"Tapi, apa pernah lo berpikir, bagaimana kalau jalan yang sedang Jena lalui sekarang, bukanlah jalan yang dia inginkan?"

"Bukannya lebih baik terpaksa melalui jalan yang kanan kirinya diisi pemandangan indah, daripada melalui jalan yang dia sukai, tapi penuh kerikil dan jalan berlubang?" Refal menatap Semesta, tersenyum meremehkan sebelum berhenti melangkah, "Sesuai perkataan Papa, kami akan bertunangan sebentar lagi."

"Gue nggak butuh izin lo, tapi gue rasa yang harus menyampaikan ini untuk kali pertama ke lo adalah gue. Sesama lelaki, gue harap lo bisa mengerti arti kata berhenti, Semesta. Nggak layak untuk memperebutkan gadis yang hampir menjadi milik orang lain. Kita sepakat kalau itu banci banget, kan?"






Huhuhu jadi tunangan engga gaiss? 

Spam komen di bawah yang mau update cepett. Si Semesta beneran kalah atau enggak nih?

Thank you.

Follow ig, wattpad, karyakarsa, tiktok : Rizcaca21

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang