Selamat Membaca
Semesta sudah memberikan kejelasan, lelaki itu sudah memberikan batas sampai di mana hubungannya dan Jena sekarang. Ia menuruti permintaan Jena, memperlakukan gadis itu layaknya pembantu di rumah ini, seperti seharusnya.
Jika biasanya setiap makan, mereka akan duduk di meja makan yang sama, kali ini dan mungkin seterusnya, Jena memilih makan di belakang bersama Ibu, dan Semesta tidak lagi mempermasalahkan itu. Lelaki itu kini menjadi lebih diam, tidak lagi peduli dengan apa yang Jena lakukan, begitu pun sebaliknya.
Jika dulu Semesta akan marah ketika Jena pulang terlalu malam, maka malam itu berbeda. Jena kembali ke rumah pukul dua belas malam, saat Semesta terbangun karena hendak mengambil minum di dapur. Keduanya berpapasan di pintu dapur, dan tidak ada perkataan yang terucap. Jena hanya menunduk sopan, dan meneruskan langkahnya, begitu pun dengan Semesta.
Pernah saling, dan kemudian menjadi asing, adalah hal paling buruk yang keduanya rasakan. Apalagi, mereka masih tinggal di atap yang sama.
"Nanti malam, aku nggak bisa jemput kamu, nggak apa-apa?" Yuan bertanya ketika ia dan Jena tengah makan siang bersama di warung Mang Acep.
"Nggak apa-apa, Mas Yuan harus nginep di kampus karena acara besok, kan?" Setelah tahu jika Semesta dan Jena tidak lagi sedekat dulu, Yuan seolah tidak ingin membuang kesempatan. Ia mendekati Jena, tidak tergesa, namun sebisa mungkin selalu ada ketika gadis itu butuh bantuan.
Satu hal yang tidak Semesta ketahui selama sebulan ini adalah Jena yang memilih bekerja di salah satu restoran tidak jauh dari kampus mereka. Melupakan rasa sukanya kepada Semesta, ternyata membutuhkan kesibukan ekstra. Apalagi pertemuan mereka intens jika Jena kembali ke rumah dengan cepat. Jadi, atas bantuan teman-temannya, Jena mendapatkan pekerjaan itu.
"Apa aku minta Bio buat jemput kamu?" tawar Yuan yang membuat Jena menggeleng beberapa kali.
"Mas, ini bukan kali pertama aku pulang sendiri, nggak apa-apa. Aku bisa, kok."
Yuan akhirnya mengangguk, mengusap pelan rambut Jena, "Kalau ada apa-apa, tolong hubungi aku ya, Na," katanya yang membuat Jena mengangguk.
Lelaki sebaik itu harusnya bersama dengan gadis yang baik juga. Bukan berarti Jena tidak baik. Hanya saja, menemani lelaki atau perempuan yang belum selesai dengan masa lalunya adalah pekerjaan berat. Yuan hanya akan terluka, karena Jena terlihat enggan untuk sembuh.
*
Malam ini Jena bekerja seperti biasa. Ia adalah pelayan di restoran yang cukup mewah ini. Temannya juga bekerja di sini, karena itu dia bisa merekomendasikan Jena kepada managernya saat membutuhkan pegawai baru.
"Meja 20, Na."
Jena yang baru saja membawa piring kotor itu tersenyum seraya mengangguk, ia kembali mendorong kereta yang berisi berbagai jenis makanan itu. Langkahnya berjalan pasti mendekat ke meja nomor dua puluh, yang berada di sudut ruangan.
Senyumnya yang sejak tadi terlihat lebar, memudar seketika begitu melihat siapa yang tengah duduk di sana. Semesta bersama dengan Opa dan Omanya dari pihak sang mama, duduk di sana. Di meja berbentuk bundar itu, lelaki itu diapit oleh dua orangtua itu.
Tatapnya tampak terkejut melihat Jena yang tengah menyajikan makanan di meja itu. Apalagi melihat pakaian pelayanan yang dikenakan gadis itu. Semesta mengalihkan pandangan begitu Jena meletakkan makanan di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTANYA JENA
RomanceSemesta sudah memiliki banyak beban di usianya yang masih muda. Hidup Jena mungkin susah, namun menjadi Semesta jauh lebih susah. Dan, ketika lelaki itu akhirnya menemukan kebahagiaannya pada diri gadis lain, maka Jena tidak berhak merasa marah. Ia...