Bab 22

4.5K 486 119
                                    

Selamat Membaca








Semesta seolah menutup telinganya, pura-pura tidak mendengar apa yang Jena katakan ketika mereka makan bakso di depan minimarket kemarin. Ia tetap bersikap seperti biasa di depan kedua adiknya, seolah tidak terjadi apapun. Seolah Semesta tidak mengalami kesulitan apapun. Lelaki itu menanggungnya sendiri.

"Mas, weekend besok kan Mbak Jena ulangtahun. Gimana kalau kita dinner bareng? Aku sebenarnya ada rekomendasi tempat makan daging sapi enak banget. Ke sana, yuk," ucap Tiara ketika mereka berempat tengah makan malam bersama.

Jena menggeleng mendengarnya, ia yang duduk di sebelah Tiara, menggenggam lembut tangan gadis itu, "Pas ulangtahunnya Mbak, kita masak bareng aja gimana? Makan di rumah?"

"Yah ... kenapa gitu? Ulangtahunnya Mbak Jena kan cuman setahun sekali." Ia beralih menatap Semesta, "Boleh kan, Mas?"

Jena menatap Semesta, lelaki itu mengunyah sembari menatapnya, dan sesaat kemudian ia mengangguk, memberikan persetujuan atas permintaan adik bungsunya itu. "Kamu reservasi tempatnya, nanti mas transfer uangnya."

"Mas," panggil Jena dengan nada keberatan.

Semesta tidak menjawabnya, ia hanya menatapnya lurus sebelum kemudian bangkit berdiri, "Mas mau langsung istirahat, ya. Besok ad akelas pagi. Jangan lupa bantuin Mbak Jena beres-beres." Ia mengusap lembut rambut Tiara, sebelum berjalan menuju kamarnya di lantai dua.

Jena mengembuskan napas pelan, ia menatap Tiara dan Bio yang terus menatapnya sejak tadi, "Kalau makannya udah selesai, biarin aja di sini. Kalian lanjut belajar aja, nanti biar mbak sendiri yang beresin." Setelahnya, gadis itu bangkit berdiri, berjalan menyusul kepergian Semesta.

"Nggak usah merayakan apapun—" perkataan Jena terhenti ketika ia membuka kamar Semesta, dan melihat lelaki itu yang tengah bertelanjang dada.

Namun, bukan itu focus Jena sekarang, bukan perut kotak-kotak Semesta, atau punggungnya yang begitu lebar itu. Ruam-ruam ungu di pundak lelaki itu membuat Jena termenung. Semesta segera mengenakan kausnya kembali begitu Jena melangkah mendekatinya.

"Kenapa?" tanya gadis itu dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Nggak apa-apa." Semesta duduk di ranjang, "Kamu tadi mau bilang apa? Mau marahin aku karena masalah tadi?" Jena tidak menjawab, tangannya terulur ke arah pundak Semesta, namun lelaki itu lebih dulu menahannya. "Bukan apa-apa, Na. Aku cuman kecapekan aja."

Jena tidak mengatakan apapun, gadis itu hanya berlalu keluar kamar begitu saja. Semesta menghela napas pelan. Ia mengira jika setelah ini Jena pasti akan mendiamkannya. Namun, dugaannya salah. Beberapa saat kemudian Jena kembali dengan kotak P3K di pelukannya.

"Aku beneran nggak apa-apa, Na."

"Buka bajunya."

"Jenaya."

"Aku mohon, Mas," kata Jena dengan suara bergetar karena menahan tangis yang membuat Semesta tidak mempunyai pilihan lain selain menurutinya. Membuka bajunya, membiarkan Jena melihat bagaimana luka memar di pundak kanannya itu.

Jena duduk di samping lelaki itu yang membuat Semesta duduk menyamping, agar Jena bisa leluasa mengobati lukannya. Gadis itu mulai membuka kotak P3K, mencari salep dan mengoleskannya perlahan di pundak Semesta.

"Ketimpa apa?" tanya Jena pelan.

"Kecapekan," jawab Semesta singkat.

"Kalau mau aku temani, libatkan aku dalam semua kesusahan kamu, Mas."

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang