Bab 11

7.8K 744 224
                                    

Selamat Membaca







Harus selalu Sania, dan harus selalu Jena yang mengalah. Gadis itu duduk diam di kursi taman belakang, menatap dua tiket pertunjukkan itu di tangannya, sebelum meremasnya dan membuangnya ke tempat sampah. Gadis itu menunduk, berusaha menahan segala rasa sesak di dadanya sejak tadi, sebelum ...

"Mbak."

Gadis itu menoleh, mencoba memberikan senyuman ketika Ibu datang menghampirinya, sebelum duduk di sampingnya. "Ibu ada perlu sesuatu?"

Ibu tidak langsung menjawab, ia meraih tangan Jena, dan menggenggamnya erat, "Maafin ibu ya, Mbak," ucapnya yang membuat Jena mengerutkan kening.

"Maaf kenapa?" tanya gadis itu bingung.

"Karena terlahir dari rahim ibu, Mbak Jena jadi nggak bisa mengungkapkan rasa suka Mbak dengan lantang." Ibu berucap dengan suara bergetar dan mata yang berkaca-kaca, yang membuat Jena termenung, "Karena nasib ibu yang hanya seorang pembantu, membuat Mbak Jena selalu disepelekan gini. Maafin ibu ya, Mbak. Maaf karena nggak bisa memberikan kehidupan yang lebih layak untuk Mbak Jena."

"Bu, kenapa jadi sampai sana, sih?" Rasa sesak di dadanya semakin terasa, dan Jena tahu ia tidak boleh menangis saat ini. Apalagi di depan Ibu. "Aku nggak apa-apa. Ibu udah memberikan kehidupan yang sangat baik untuk aku."

Ibu menggeleng mendengarnya, "Kalau ibu bukan pembantu di rumah ini, Mbak Jena pasti lebih berani mengungkapkan perasaan Mbak Jena ke Mas Esta."

Kali ini Jena benar-benar diam. Ibu menyadarinya, Ibu menyadari jika Jena memang diam-diam memiliki perasaan terhadap Semesta. Lalu, jika Ibu saja mampu menyadarinya, kenapa Semesta seolah menutup mata mengenai itu?

Gadis itu tidak lagi bisa menjawab, ia hanya berhambur ke pelukan Ibu, dan ... pertahanannya hancur. Jena terisak keras di pelukan sang ibu. Jika saja boleh memilih, maka jatuh cinta kepada Semesta, adalah hal yang ingin Jena lewati dalam hidupnya.

Tanpa keduanya sadari, Bio dan Tiara mengintip dan mendengar semuanya dari pintu penghubung dapur dan taman belakang itu. Bio diam termenung, sedangkan Tiara ikut menangis setelah mendengar percakapan sepasang anak dan Ibu itu.

Semesta selalu mengatakan kepada Bio agar mereka sama-sama menjaga Tiara, Jena, dan Ibu, karena mereka adalah keluarga. Namun, sekarang lelaki itu juga lah yang menyebabkan tangis ketiga perempuan berbeda generasi itu.

*

"Kamu belum kasih tahu orangtua kamu? Atau, nenek dan kakek kamu?" tanya Semesta setelah ia selesai menyuapi Sania pagi ini.

Gelengan pelan Sania berikan yang membuat lelaki itu mengembuskan napas kasar. "Terus Bima gimana? Dia udah ngomong sama orangtuanya? Kapan mereka akan jenguk kamu?"

Lagi-lagi Sania menggeleng yang membuat Semesta berdecak kesal, "Aku akan cari Bima," ucapnya sembari bangkit berdiri yang membuat Sania menarik lengannya agar tetap tinggal.

"Aku butuh kamu, Ta. Aku mau ditemani hari ini." Gadis itu kembali menangis, "Aku nggak mau sendirian."

Dan, Semesta tidak bisa menolaknya. Rasa kasihan membuat lelaki itu selalu mengiyakan segala permintaan Sania, bahkan setelah gadis itu melukainya. Sepertinya, jauh di dalam hatinya, ia masih menyimpan sedikit rasa peduli terhadap Sania.

Ketika Sania tengah tertidur, Semesta berjalan keluar kamar, mengecek kembali ponselnya, dan pesannya belum dibaca oleh Jena. Ia kembali mencoba menelepon gadis itu, namun tetap sama, tidak ada jawaban dari Jena. Semesta tahu Jena pasti kecewa. Namun, untuk sekarang Sania memang lebih membutuhkannya dari Jena.

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang