Bab 39

3.6K 352 34
                                    

Selamat Membaca







Tuntaskan balas dendam kamu, Jena. Buat Semesta dan adik-adiknya merasa kembali memiliki kamu, lalu tinggalkan mereka. Seperti perkataan kamu dulu kepada saya.

Semesta masih termenung di meja makan rumahnya yang berada di Bandung. Ia tidak bisa tidur setelah pesan yang ia baca semalam di ponsel milik Jena. Di hadapannya terdapat secangkir kopi panas yang ia buat tadi.

Ia menghela napas pelan, entah sudah ke berapa kalinya. Lelaki itu menatap ponselnya begitu bunyi notifikasi terdengar. Satu pesan masuk dari Jena tertera di sana, yang membuat Semesta segera meraih dan membacanya.

Jenaya : Aku ke Pak Hasyim dulu ya, Mas. Aku sudah pesan sarapan buat kamu, bentar lagi sampai. Banyakin istirahat, kamu kelihatan kecapekan semalam.

Semesta memilih tidak membalas pesan Jena, menghela napas kasar dan bersandar di sandaran kursi. "Mikir dengan tenang, Ta. Jena nggak begitu. Dia masih Jenanya lo yang dulu," gumamnya berusaha meyakinkan dirinya sendiri, di tengah keraguan yang ia rasakan.

*

Sampai siang tiba, Jena terus memerhatikan ponselnya, tidak ada satu pun balasan dari Semesta. Sebenarnya, ke mana lelaki itu? Apa dia benar-benar kelelahan sampai lupa membalas pesan Jena?

"Ya, kenapa?" tanya Refal sembari menghampiri Jena yang memilih menjauh dan sibuk dengan ponselnya di tengah-tengah jadwal makan siang mereka bersama para pemegang saham di perusahaan kontruksi milik sang papa. "Gelisah banget kayaknya, ada sesuatu yang mengkhawatirkan kamu, ya?"

Seolah tidak ingin lagi berbohong, Jena mengangguk menjawab pertanyaan Refal. "Mas Esta di Bandung, A. Pagi tadi aku chat, tapi sampai siang gini nggak dibalas. Semalam wajahnya kelihatan kecapekan, aku khawatir dia kenapa-napa," jelasnya.

"Mau aku antar pulang?" tawarnya yang membuat Jena mengerutkan kening.

"Kita masih menjamu tamu."

"Aku bisa menghandle mereka sendiri, kok." Refal tersenyum, "Mau pulang? Aku antar sekarang."

"Aku pulang sendiri saja, boleh?" tanya Jena. "Aku bawa mobil kalau kamu lupa."

Anggukan pelan Refal berikan, "Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai, kasih aku kabar."

Jena tersenyum, meraih tangan Refal, dan menggenggamnya erat. "Makasih karena selalu jadi orang pertama yang mau mengerti aku, A."

Lelaki itu tersenyum, memberikan usapan lembut di kepala Jena, sebelum mengangguk. Membiarkan Jena kembali ke meja lebih dulu untuk meraih tasnya, sebelum berjalan keluar dari restoran.

Refal mengembuskan napas pelan melihat kepergian gadis itu. Ia tidak baik-baik saja, karena untuk menjadi orang pertama yang selalu mengerti Jena, ada rasa yang harus ia tahan agar tidak semakin membesar. Tetap membersamai gadis itu, meski hanya sekadar menjadi 'orang baik' untuk Jena. Tidak lebih.

*

Sesampainya di rumah, Jena keluar dari mobil sembari membawa beberapa keresek yang berisi makanan. Ia berjalan menuju rumah Semesta yang tampak ramai itu. Begitu mendekat, Jena dibuat terkejut dengan Tiara yang tiba-tiba saja memeluknya erat.

"Mbak, mereka isengin aku terus," adunya sembari menunjuk ke arah Semesta, Bio, dan Yuan yang ada di sana.

"Jail banget memang ketiga-tiganya."

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang