Bab 42

5.5K 403 38
                                    

Selamat Membaca








"Karena itu aku menebusnya sekarang, Na. Kali ini aku akan mempertahankan kamu mati-matian. Kehilangan segalanya, dan memulai dari nol lagi, nggak apa-apa. Asal yang di sampingku masih tetap Jenaya, bukan orang lain."

Jena tersenyum sembari membuat roti panggang untuk sarapan pagi ini. Mengingat kembali bagaimana cara Semesta meyakinkannya semalam. Mengingat bagaimana wajah serius lelaki itu kepadanya. Meski segalanya belum terselesaikan, namun mengetahui jika mereka tetap bersama, membuat gadis itu merasa bahagia.

"Pagi, Mbak."

"Pagi," balas Jena kepada Bio yang baru saja pulang dari jogging. "Kamu lari pagi jam berapa, Dek? Jam segini kok udah beres?"

"Setengah 6, nggak bisa tidur, Mbak."

"Dari semalam?"

"Iya," jawab Bio sembari menyengir lebar.

Jena menghela napas mendengarnya, "Ada yang bisa mbak dengar? Atau, kamu perlu saran dari mbak sebagai perempuan?"

Tentu Jena sangat berhati-hati ketika berbicara dengan Bio. Mereka dekat, namun Jena tahu jika Bio bukan tipe lelaki yang akan menceritakan segalanya begitu saja. Cowok yang duduk di semester empat itu berbeda dengan saudaranya yang lain.

Jika Semesta sesekali masih memperlihatkan kekesalannya, atau Tiara yang selalu dengan jelas mengungkapkan segalanya. Namun, Bio berbeda. Lelaki itu lebih memilih memendam segalanya sendiri. Menyelesaikan masalahnya sendiri, tanpa melibatkan siapapun.

"Mbak janji kok, nggak akan bilang ke Mas Esta atau Tiara, kalau itu yang kamu khawatirkan," kata Jena ketika melihat Bio yang tampak ragu itu.

"Sebenarnya, di kampus aku lagi—" Bio menghentikan perkataannya begitu melihat Semesta yang berjalan mendekat ke arah mereka. "Nanti aja deh, Mbak," katanya yang membuat Semesta mengerutkan kening, apalagi setelahnya Bio berjalan pergi sembari memberikan sang kakak senyuman penuh arti.

"Ada apa? Dia bilang apa ke kamu?" tanya Semesta penuh selidik kepada Jena.

"Apa sih, Mas. Kamu nih mau tahu aja," jawab Jena sembari membuka kulkas dan mengeluarkan buah-buahan dari sana.

Semesta diam, bergantian menatap Jena dan Bio yang tengah berjalan menaiki tangga itu dengan ekspresi resah. Adiknya itu ... tidak sedang bersaing dengannya secara diam-diam untuk mendapatkan Jena, kan?

*

"Kita ngapain sih, Mas?" gerutu Tiara yang tengah bersembunyi di balik pintu yang menjadi penghubung menuju kolam renang itu.

"Katanya mau Mbak Jena jadi sama mas, gini doang nggak mau?" tanya Semesta kesal.

"Aku memang mau Mbak Jena bisa sama Mas Esta lagi. Tapi, ini kita ngintip Mas Bio sama Mbak Jena yang lagi ngobrol buat apa?" Tiara menatap kakak pertamanya itu dengan bingung. "Kenapa nggak langsung kita samperin aja ke sana?"

"Jangan," kata Semesta penuh penekanan.

Lelaki itu berdecak pelan. Sore ini, gelagat Bio tampak aneh. Ia diam-diam mengajak Jena menjauh ketika mereka tengah menonton televisi bersama. Tentu saja Semesta tidak bisa tinggal diam. Siapapun itu, bahkan adik kandungnya sendiri, akan ia singkirkan jika berhubungan dengan Jena.

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang