Selamat Membaca
Yuan memerhatikan Semesta yang sejak tadi tidak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari Jena ketika mereka tengah makan malam bersama. Keduanya tampak semakin dekat, dan yang paling membahayakan adalah Semesta terlihat jatuh lebih dalam kali ini.
Jika memang benar Jena diam-diam membeli saham perusahaan, lalu menjualnya kepada competitor perusahaan, maka sudah bisa dipastikan jika gadis itu mempunyai niat tersembunyi atas kembalinya lagi ke keluarga mereka, bukan? Mengingat kembali bagaimana sikap Papa dulu, Yuan mungkin sedikit memaklumi jika rasa sakit hati Jena atas kesalahan di masa lalu, memang harus dibalaskan. Namun, bagaimana dengan Semesta?
"Masih panas, ya?" tanya Semesta ketika melihat Jena yang menarik tangannya lagi ketika menyentuh bakwan jagung di piring. Anggukan pelan yang Jena berikan, membuat Semesta meraih satu bakwan itu, memotongnya menjadi dua bagian, meniupnya perlahan, sebelum mengarahkannya kepada Jena.
"Udah nggak terlalu panas, aaa ..."
Jena mengerjab beberapa kali, menatap kepada semua orang di ruang tamu rumah Semesta ini, sebelum menurunkan tangan Semesta, namun lelaki itu berdecak pelan. "Aku suapin," katanya sebelum kembali mendekatkan bakwan jagung itu ke mulut Jena, tanpa peduli dengan semua tatap mata yang mengarah kepadanya.
"Aku nggak lihat kok, Mbak," sahut Tiara sembari melemparkan senyuman menggoda.
"Buka mulutnya, Na," kata Semesta lagi yang mau tidak mau, membuat Jena membuka mulutnya, menerima suapan gadis itu. "Enak? Ini rekomendasinya Yuan." Lelaki itu memakan bekas gigitan Jena sebelum mengangguk setelah merasakan bakwan jagung itu.
Tatapan Semesta beralih, secara tidak sengaja bertemu dengan tatap Yuan yang membuat lelaki itu memberikan Yuan tatapan bertanya, yang dijawab Yuan dengan gelengan pelan.
*
Selesai makan malam bersama, Semesta, Jena dan yang lainnya tengah berada di ruang tengah rumah Semesta, menonton film horor bersama atas permintaan dari Tiara. Sejak tadi gadis itu tampak sangat senang dengan kebersamaan mereka.
"Kenapa?" bisik Semesta ketika melihat gelagat aneh Jena.
Mereka duduk berdua di sofa, sedangkan di bawah, Bio, Tiara, dan Elisa, duduk lesehan, lalu Yuan duduk di sofa tunggal yang ada di sana.
"Punggung sama pinggangku sakit, kayaknya mau datang bulan, biasanya sering gini," jawab Jena pelan, tidak mau mengganggu Tiara yang tampak sangat focus dengan film yang mereka tonton itu.
Semesta mengangguk pelan, ia tidak memberikan sahutan apapun, tampak focus dengan ponselnya. Beberapa saat setelahnya, lelaki itu bangkit berdiri, dan berjalan menjauh begitu saja. Namun, ketika Semesta kembali, ia membawa minyak angin di tangannya.
"Aku usap-usap biar sakitnya hilang, ya. Di google bilangnya gitu," bisiknya sebelum mulai menuangkan minyak angin di tangannya, menaikkan kaus Jena, sebelum menyelipkan tangannya di sana, memberikan usapan lembut di pinggang Jena sembari memijitnya perlahan.
"Udah." Jena berbalik menatap Semesta.
"Udah nggak sakit?" tanya lelaki itu.
"Masih, tapi ... malu, Mas."
"Kenapa harus malu?" Tangan Semesta kembali menyelinap ke pinggang Jena, "Nggak ada yang lihat. Udah kamu nonton aja." Namun, lelaki itu keliru. Di dalam pencahayaan yang hanya mengandalkan sinar dari televisi yang menyala itu, Yuan memerhatikan keduanya sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTANYA JENA
RomanceSemesta sudah memiliki banyak beban di usianya yang masih muda. Hidup Jena mungkin susah, namun menjadi Semesta jauh lebih susah. Dan, ketika lelaki itu akhirnya menemukan kebahagiaannya pada diri gadis lain, maka Jena tidak berhak merasa marah. Ia...