Bab 21

4.6K 467 157
                                    

Selamat Membaca








Kedua mata Jena berkaca-kaca, ia hendak melangkah pergi namun pintu kamar Semesta tiba-tiba saja terbuka. Tatapan keduanya beradu. Semesta bisa melihat bagaimana Jena berusaha keras menahan air matanya sekarang. Dan, begitu pun sebaliknya. Jena bisa melihat jelas bagaimana kelelahan yang coba disembunyikan oleh Semesta saat ini.

Mereka mungkin memang tidak bisa bersama.

"Aku mau ambil baju kotor, Mas." Jena tersenyum, melangkah masuk ke dalam kamar, berjalan ke sudut, di mana pakaian kotor Semesta ada di sana.

Lelaki itu masih diam, memperhatikan Jena, sebelum ... "Kamu dengar kan, Na?" tanyanya pelan.

Gerakan tangan Jena terhenti, ia termenung sejenak, sebelum memberikan gelengan pelan dan kembali memasukkan pakaian kotor Semesta ke keranjang yang ia bawa. "Dengar apa? Aku nggak suka nguping kok, Mas." Tawanya terdengar penuh paksaan, dan Semesta jelas tidak akan mempercayainya.

"Aku sedang mengusahakan kamu, Na," ucap Semesta ketika Jena melewatinya hendak keluar kamar. "Aku nggak pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi nggak bersama dengan kamu lagi, sama aja dengan bunuh diri." Lelaki itu mendekat, memberanikan meraih tangan Jena, menarik gadis itu agar menatap ke arahnya, "Aku akan menjaga kamu, sesuai perkataan Ibu," katanya.

Jena masih diam, ia menunduk, menatap genggaman tangan Semesta di tangannya. Erat dan hangat. Ia mungkin akan merindukan genggaman tangan ini ketika mereka tidak lagi bisa bersama. "Ibu pasti ngerti, Mas," sahutnya dengan suara serak karena menahan tangis.

"Ngerti?" Semesta menatap Jena dengan kening mengerut.

"Pun kalau akhirnya kamu nggak bisa menjaga aku, itu bukan murni karena kemauan kamu. Ibu udah lihat semua usaha kamu, Mas. Jadi, aku yakin Ibu nggak akan marah."

"Na ..." Seolah tahu ke mana arah pembicaraan Jena, genggaman tangan Semesta mengerat. Lelaki itu mulai merasa ketakutan, apalagi sejak tadi Jena tidak balik menggenggam tangannya. "Percaya sama aku, Na."

"Jangan dipaksa, Mas. Kalau kamu kesulitan, kamu harus berhenti. Jangan berjalan jauh tanpa pakai alas kaki, kamu nggak pernah melakukan itu sebelumnya." Jena tersenyum, melepaskan tangannya dari genggaman Semesta, dan kembali berjalan meneruskan langkah untuk keluar dari kamar, membiarkan Semesta menatap kepergiannya dengan rasa cemas.

Jena mungkin benar, ia tidak pernah berjalan jauh tanpa alas kaki. Sepatu atau sandalnya selalu barang mahal dan mewah. Kaki Semesta tidak pernah kesakitan sebelumnya. Namun, jika untuk terus membersamai langkah Jena, kakinya lah yang harus dikorbankan, Semesta bersedia. Tidak apa-apa jika seterusnya ia memiliki kaki yang penuh luka, asal yang berada di sampingnya masih selalu Jena.

***

"Semesta kerja, Na. Di salah satu bengkel mobil milik orangtua temannya. Dia kerja jadi montir di sana. Selama ini diam-diam Semesta belajar mengenai mobil, nggak sesuai memang dengan jurusannya. Tapi, dia melakukannya karena menyukainya."

Langkah Jena membawanya sampai ke bengkel mobil yang di maksud oleh Yuan tadi siang. Lelaki itu bercerita mengenai alasan Semesta selalu pulang malam dalam kondisi lelah. Semesta bekerja jika tidak ada kelas.

Ini bukan bengkel mobil kecil, ini adalah bengkel mobil besar. Di mana lantai atas di khususkan untuk admin dan tempat tunggu pelanggan. Ruangannya luas karena empat mobil bahkan bisa berjejer rapi dengan masing-masing montir yang menanganinya.

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang