Bab 43

11K 396 42
                                    

Selamat Membaca







"Aku kesal. Kamu belain mereka terus sejak tadi."

Semesta mengalihkan pandangan dari Jena ketika mereka tengah duduk berdua di gazebo. Pak Hasyim dan Refal masih di sini, tengah makan malam bersama dengan Tiara, Bio, dan Yuan.

Jena menghela napas pelan, ia sengaja menarik Semesta menjauh ketika sejak tadi lelaki itu terus berdebat dengan Pak Hasyim tanpa membiarkan lelaki tua itu makan sedikit pun. "Pak Hasyim itu aslinya baik. Aku kan selalu bilang ke kamu, kalau nggak ada beliau, aku nggak mungkin sebaik sekarang, Mas." Ia berusaha memberikan penjelasan.

"Dia terus meragukan aku, Na." Semesta dengan egonya yang begitu besar, tentu saja menolak direndahkan karena sejak dulu, tidak pernah ada yang berani meragukan dirinya.

"Pak Hasyim melakukan itu karena dia menyayangi aku."

"Bukan karena dia gagal menjadikan kamu menantunya?" sela Semesta kesal yang membuat Jena diam.

Beberapa saat kemudian, ketika tidak lagi mendengar perkataan Jena, Semesta menoleh, "Maaf," ucapnya lebih dulu. "Aku mau selalu terlihat lebih dewasa di hadapan kamu. Tapi, kali ini susah, Na," adunya. "Aku cuman mau terlihat baik di depan kamu, bukannya terus diragukan kayak tadi," gerutunya pelan.

Tangan Jena terulur, memberikan usapan lembut di kepala Semesta, "Bahkan tanpa membuktikan apapun, aku selalu melihat kamu dengan cara yang baik, Mas," katanya yang perlahan seolah bisa menghapus ekspresi kesal di wajah Semesta.

Gadis itu tersenyum, "Kita sepakat untuk memulai segalanya dari nol, jadi karena itu juga, aku berharap kita berdua bisa sama-sama memaafkan orang-orang atau beberapa hal yang memang nggak sepaham dengan kita berdua. Bisa kan, Mas?"

Semesta diam sejenak, ia meraih tangan Jena, memberikan usapan lembut sebelum memberikan kecupan hangat di punggung tangan gadis itu, "Kalau kamu yang meminta, aku mana bisa menolak, Na? Curang," ucapnya sembari tersenyum yang membuat Jena tertawa pelan.

*

"Sori."

Semesta yang tengah merokok di taman belakang itu menoleh, menemukan Refal yang tengah duduk di sampingnya, mengambil rokok miliknya sebelum meraih korek api, dan menyulutnya.

"Papa sayang banget sama Aya," kata Refal. "Gue pernah punya adik, Ta. Cewek. Kalau dia masih hidup, dia akan seumuran sama Aya. Karena itu, ketika melihat Aya, Papa seolah melihat almarhum adik gue," jelasnya yang sebelumnya tidak pernah Jena ceritakan kepada Semesta. "Apalagi, mereka ulangtahun di hari yang sama."

Semesta tidak menjawab, namun ia akhirnya menemukan jawaban kenapa rasanya Pak Hasyim sangat membatasi hubungannya dengan Jena. Ia mematikan rokoknya di asbak yang memang disediakan di sana.

"Jadi, selama ini lo menganggap Jena sebagai adik lo? Banci banget, dong. Bisa-bisanya cuman jadiin Jena pelampiasan," respons Semesta.

Refal tertawa mendengarnya, "Sejak awal Papa selalu bilang ke Aya mengenai apapun, termasuk adik gue yang meninggal. Nggak ada yang perlu ditutupi. Aya tahu semuanya, karena itu dia nggak memiliki perasaan apapun ke gue. Kita bersaudara, begitu kata dia."

Mendengarnya, entah kenapa menimbulkan letupan-letupan bahagia di dalam hati Semesta, "Bagus lah, Jenanya gue memang nggak baperan orangnya," ucapnya.

Refal manggut-manggut mengerti, ia ikut mematikan rokoknya di asbak begitu suara Jena terdengar memanggil nama mereka berdua. "Gue sebenarnya nggak bermaksud untuk kepo, sih. Tapi, kapan lo melamar Jena? Tunggu dia lulus S2 dulu?"

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang