Bab 31

4.3K 423 63
                                    

Selamat Membaca








"Ini yang aku lakukan selama setahun di Surabaya untuk mendapatkan bertahan hidup, dan semua karena Papa kamu, Mas."

Perkataan Jena malam itu terus berputar di kepala Semesta. Bagaimana bisa? Apa Papa mengatur semuanya sampai sejauh itu? Memperlakukan Jena yang sudah puluhan tahun membersamainya? Bagaimana bisa Papa menjadi setega itu?

Semesta segera kembali ke Jakarta keesokan harinya setelah mendengar perkataan Jena semalam. Ia harus menemui Papa dan meminta kejelasan. Jika hanya karena perjodohannya dengan Elisa, Papa tidak harus melakukannya sampai sejauh ini.

Zahid yang duduk di kursi kerjanya melotot melihat Semesta yang berjalan mendekat sembari membawa helm di tangannya. Ia bahkan hanya memakai kaos polos berwarna putih dipadukan jaket kulit berwarna hitam. Jelas sekali jika Semesta datang bukan untuk bekerja.

"Pak? Ada sesuatu yang mendesak sampai Pak Semesta kembali ke Jakarta lagi?" tanyanya bingung.

Mereka, atau lebih tepatnya Semesta sudah membuat kesepakatan. Dia hanya akan datang ke Jakarta ketika weekend tiba. Selama weekday ia akan berada di Bandung, bekerja dan memantau segalanya dari sana. Misinya mendekati Jena dan mendapatkan gadis itu kembali tidak boleh ia lewatkan begitu saja.

"Papa di mana?" tanya Semesta balik tanpa menjawab pertanyaan Zahid.

Meski kebingungan, Zahid tetap meraih gagang teleponnya, menghubungkan dengan sekretaris dari Papa Semesta sebelum kembali menatap bosnya yang wajahnya terlihat sangat tidak bersabahat itu.

"Bapak sedang sarapan di ruangannya bersama Pak Yuan, Pak."

Anggukan pelan Semesta berikan, sebelum lelaki itu berbalik dan kembali mendekati lift dan masuk ke dalam. Zahid menghela napas pelan, sesuatu pasti telah terjadi, dan ia tahu ia tidak boleh diam saja. Lelaki itu berlari, menuju tangga darurat untuk naik satu lantai menuju ruangan Papa Semesta berada.

Sekretaris Papa berdiri menyambut kedatangan Semesta, namun lelaki itu tampak tidak peduli. Ia mendorong dua pintu besar itu, dan masuk ke dalam dengan langkah lebarnya. Diam di tengah ruangan di depan Papa dan Yuan yang tengah duduk bersama dengan berbagai macam makanan di meja.

"Ta?" Yuan berucap lebih dulu, "Bukannya lo harusnya ada di Bandung sekarang? Ada perlu apa?" tanyanya. Kesepakatan itu tentu saja sudah Semesta rundingkan dengan Yuan lebih dulu. Memasrahkan segala tanggung jawab kepada saudara tirinya itu ketika ia tidak berada di Jakarta.

"Aku mau dengar jawaban jujur dari Papa," ujarnya sembari menatap lurus ke arah Papa. "Papa tahu apa yang dikerjakan Jena selama setahun selama di Surabaya?" tanyanya yang membuat Papa meletakkan cangkir kopinya.

"Wanita penghibur?"

Semesta mendengus tidak percaya setelah mendengar jawaban yang keluar dari mulut sang papa. Tangannya mencengkram kuat helm di tangannya. Berusaha menahan diri untuk bertanya lebih jauh. Namun, belum sampai di sana, Papa justru kembali berbicara yang membuat amarah Semesta semakin mendidih.

"Bukannya begitu cara Jena bertemu dengan Hasyim? Bahkan beberapa rumor mengatakan kalau Jena sudah menjadi istri muda Hasyim, karena itu ia bisa bekerja sebagai sekretaris pribadinya, jadi—"

Prang.

Perkataan Papa terhenti ketika Semesta dengan kuat melempar helm di tangannya ke arah meja kerja yang berada tepat di belakang Papa, melemparnya tepat pada name tag Papa sebagai direktur utama di sana hingga jatuh dan pecah begitu saja.

SEMESTANYA JENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang