WINTER masih berdiri kaku. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Seingatnya, waktu ia tiba, mobil sport milik orang di depannya ini masih belum ada di garasi tapi sekarang pemiliknya ada di sini? Jadi, sejak kapan Jaemin pulang?
"Jaemin."
"Minjeong."
Mereka berdua mengucap nama masing-masing secara bersamaan.
"Aku..."
"Aku..."
Lagi-lagi keduanya berucap bersamaan membuat mereka berdua terdiam dan saling berpandangan sebelum tawa mereka pecah.
"Sepertinya kita akan mengambil banyak waktu untuk cuma sekadar buat ngobrol, Minjeong."
Tawa Winter masih tersisa sebelum ia mengangguk perlahan. "Kayaknya iya."
"Ayo kita duduk di sini dulu." Jaemin berkata sambil berjalan ke bangku panjang di ada di taman sempit itu.
Winter menurut tapi setelah itu ia langsung bersuara. "Aku gak suka basa-basi dan kita berdua tahu apa yang kita lakukan di sini."
"Maafin aku."
Wajah Winter berubah. Ia melirik Jaemin di sebelahnya dengan ujung mata cantiknya itu. "Kayaknya kamu gak punya salah yang harus aku maafkan." Balasnya perlahan.
"Tapi aku udah berbohong ke kamu."
Winter tidak menjawab. Ia hanya diam tanda memberikan ruang pada Jaemin untuk berbicara duluan.
"Aku mengangkat telepon kamu tanpa memperkenalkan diri dan gak ngasi kabar ke kamu kalo Kak Jaehyun udah gak ada."
Mata Winter tak beranjak dari kuntum mawar yang bermekaran dengan indahnya tidak jauh di depannya. "Soal itu aku ngerti kalo kamu sendiri gak tahu orang yang sering hubungi Kak Jaehyun itu aku, kan?"
"Erm, sampai kamu bilang waktu itu kalo kamu bekerja dengan papa aku." Jaemin tersenyum hambar. Masih sulit untuk percaya. Dulu ia bercerita tentang Kak Jeje nya kepada Winter dan ia mendengar panggilan Kak Jae yang sering Winter sebutkan setiap kali Winter menghubungi kakaknya. Ternyata keduanya merujuk pada orang yang sama. Tidak mahu ada kesalahan, Jaemin membahasakan kakaknya dengan nama penuh bukannya Kak Jeje lagi. "Kalo aku tahu lebih awal kamu adalah orang yang sering hubungi nomor Kak Jaehyun, aku pasti udah samparin kamu bukannya setelah semuanya terbongkar kayak sekarang."
Winter menatap wajah Jaemin yang masih tersenyum hambar. "Seharusnya aku yang berterima kasih ke kamu."
Jaemin mengerutkan alisnya. Terima kasih? Kenapa Winter harus berterima kasih sedangkan ia sudah berbohong lamanya kepada gadis ini. Winter ini baik-baik saja atau tidak? "Kok kamu jadi berterima kasih ke aku?"
"Ya itu gara-gara kamu yang harus mendengarkan ocehan aku selama lima tahun ini." Winter tertawa kecil. Mengingatkan dirinya akan kelakuan yang suka mengoceh sendiri membuatnya malu. Bagaimanapun juga, pria di sebelahnya ini adalah orang yang mendengar semua omongan randomnya. Entah kenapa Winter mengucapkan rasa lega dalam hati karena sepanjang lima tahun itu tidak ada omongan tentang dirinya berhubung dengan dunia skate.
"Minjeong..." Jaemin terdengar ragu-ragu. "Aku mohon ke kamu sekarang jangan menyimpannya sendiri. Kamu bisa berbagi rasa kamu ke aku."
Kepala Winter mendongak. Ia merenungkan langit tapi dalam masa yang sama ia menahan rasa yang menerpa diri. "Jaemin." Bibirnya berusaha bersuara terasa sukar. Rasanya perih.
"Minjeong, aku tahu kamu berusaha untuk menyimpan semuanya sendiri supaya gak ada yang khawatir ke kamu. Tapi tolong kalo dengan aku kamu bisa berbagi. Gak usah disimpan sendiri." Suara Jaemin begitu lembut berusaha untuk mengerti isi hati gadis yang cukup lama terdiam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Always Been You✔️
FanfictionWinter, gadis skater dari Thunder Clan yang serba bisa seperti mengalami mimpi buruk saat tiba-tiba diminta bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga teman kepada orang tuanya. "Kalau adek gak mau, papa akan bakar deck yang ditata indah...