"KENAPA? Kenapa mau kembali China tiba-tiba?" Mark bertanya dengan nada tidak percaya.
Winter menunduk memainkan jari-jarinya di atas riba. "Kayaknya keputusan gue kembali ke sini salah. Gak seharusnya gue pulang dari awal."
Mark, Chenle, Haechan dan Renjun hanya mengeluh dengan napas yang berat.
"Lo kayak ini gara-gara udah ketemu sama Jaemin, kan?" Haechan mengetahui tentang pertemuan mereka dari Mark. "Please deh, Winter. Selama lo dan Jaemin gak saling mengatakan perasaan kalian yang sebenarnya, masalah ini kagak bakal selesai."
"Gue gak mencintai Jaemin." Winter menjawab dengan suara pelan.
"Emangnya kapan kita semua bilang kalo lo mencintainya?" Renjun mengangkat sebelah alisnya ke arah Haechan. "Win, apa yang Haechan bilang itu benar. Kita semua udah kenal lo sejak lama. Kita semua udah bareng lo dari remaja. Kita tahu gimana lo kalo udah suka dan sayang seseorang. Kita semua bisa melihatnya, Winter." Ia meletakkan tangannya di pundak Winter.
"Tapi kita juga gak bisa memaksakan perasaan seseorang. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat." Chenle mulai bersimpati pada Winter. "Win, gue ngerti kalo lo sebenarnya memikirkan banyak hal. Mungkin lo sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi ke lo tapi mengambil keputusan untuk kembali ke China terburu-buru bukanlah alasan yang tepat."
Yang lain mengangguk setuju.
"Semua ini kayak membunuh gue pelan-pelan." Tanpa disadari, air mata Winter menetes membasahi pipinya.
"Apa lo udah memikirkannya dengan matang?" Mark bertanya dengan lembut. Sejujurnya, Winter terlalu sering meneteskan air mata sekarang. Ia jadi tidak tega.
Haechan merenungkan Winter. "Gue tahu semua ini sulit banget buat lo tapi hei, lo harus kuat."
Mark menghampiri Winter. Tanpa mengucapkan apapun, ia memeluk gadis yang sudah berurai air mata itu. Kepala Winter diusapnya dengan lembut layaknya seorang kakak yang sedang membujuk adiknya.
"Gue takut..." suaranya terdengar terisak.
Sayu.
Winter merasakan sesak di dadanya. "Gue takut mau menerima kenyataan tentang perasaan Jaemin yang sebenar. "Kak Mark, gue ini lumpuh."
"Win." Hati Mark luluh lantak mendengar suara kecil itu.
Haechan menunduk. Ternyata Tante Taeyeon benar. Ada banyak hal yang mengganggu pikiran Winter sekarang dan inilah salah satunya. Hal yang ditakutkan oleh Winter. Winter takut kondisi lumpuhnya akan membuat orang-orang mulai mengambil keuntungan darinya. Ia takut perasaan orang lain padanya tidak tulus. Ibu kepada Winter itu sendiri yang meminta mereka untuk datang dan membujuk Winter saat gadis itu itu tiba-tiba mengatakan kepada orang tuanya kalau ia ingin mengikut Doyoung kembali pulang ke China. Mata Haechan beralih menatap Winter yang masih menangis dalam pelukan Mark. Winter sudah berubah. Terlalu banyak perubahannya jika mau dibandingkan dengan masa lalu.
"Gak mau ketemu Jaemin aja dulu?" Haechan bertanya pada Winter dengan suara rendah.
Winter diam, tidak terus menjawab pertanyaan Haechan. Ia menelan saliva. "Gue takut kalo ia yang gak mau temui gue." Rasanya sakit saat ia mengatakan itu. "Lagipula, gue takut Yeri akan marah atau melakukan sesuatu lagi kalo ia tahu gue ketemu dengan pacarnya. Gue udah gak mau melibatkan orang lain dalam masalah gue lagi. Gue gak mau ketemu sama Jaemin lagi. Gue mau kembali ke China. Gue gak bisa tinggal di sini lagi. Gue gak mau."
"Kim Minjeong, lo gak tahu apa yang udah terjadi selama ini?" Nada suara Haechan terdengar kaget dan bingung.
Mark juga terlihat kaget dengan kenyataan yang diucapkan Winter. Ia saling bertukar pandang dengan tiga orang temannya. "Winter, lo benaran gak tahu apa-apa yang udah terjadi selama sepuluh tahun ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Always Been You✔️
FanfictionWinter, gadis skater dari Thunder Clan yang serba bisa seperti mengalami mimpi buruk saat tiba-tiba diminta bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga teman kepada orang tuanya. "Kalau adek gak mau, papa akan bakar deck yang ditata indah...