JAEMIN bangkit dari kursi ketika ponsel yang berada di kasur berteriak minta diangkat. Ponselnya dicapai dan ia melihat nama si pemanggil dengan sedikit kerutan. Waktu yang tertera dilirik, jam sembilan malam. Kenapa Jeno menghubunginya di waktu sebegini? "Halo, Jen. Kenapa lo hubungi gue?" Tanyanya lesu.
Jaemin mendengar tawa Jeno pecah di ujung telepon. "Aba-aba kek. Sengaja mau nuntut ucapan selamat dari lo. Gue udah jadi papa loh."
Seketika wajah lesu Jaemin tadi tampak berubah. Bibirnya membentuk garisan menaik. Ia menggelengkan kepalanya seketika. "Yang benar, lo? Selamat bro. Gue gak nyangka kalo gue sekarang udah punya ponakan, cebolan dari lo lagi." Jeno, teman yang berjuang bersama ketika mereka masih belajar kini sudah memiliki seorang anak. Kapan ia akan menjadi seperti temannya itu? Jaemin sempat bertanya pada dirinya sendiri. Tapi sebenarnya ia tidak seharusnya membandingkan dirinya dengan Jeno. Jeno sudah tentu berbahagia soalnya temannya itu menikahi wanita yang dicintainya.
"Ya iya lah, gue gitu. Mau nunggu lo jadi papa duluan itu gak ada hilalnya. Jomblo aja terus dari embrio. Malu dong sama anak kelas sepuluh sekarang udah pacaran mereka."
"Kapan Karina melahirkan?" Ia dengan cepat mengubah topik pembicaraan. Jaemin hanya merasa tidak enak untuk membuka diri pada Jeno tentang statusnya saat ini karena lebih penting emosi Jeno yang baru menjadi papa dibanding emosinya yang menanyakan takdir hidupnya terus. Tidak menikah di usia tiga puluh dua tahun itu buat Jaemin sebenarnya bukanlah satu masalah yang besar.
Cuma masalahnya adalah ketika semua teman yang seusia dengannya rata-rata sudah berkeluarga. Contoh yang paling dekat adalah orang yang sedang berbicara dengannya saat ini.
"Lo gak mau ngejenguk?"
Mata Jaemin menatap jam di dinding. Ia tampak berpikir sejenak. "Ini sudah larut malam, gue takut ganggu bayi dan istri lo. Gue ke sana besok pagi aja."
Jeno hanya mengangguk meski ia tahu Jaemin tidak akan melihatnya. Ia mengenyitkan matanya ke arah Karina yang berada di ranjang pasien di belakangnya. Jaemin, ia akan memastikan bahwa kesalahpahaman temannya akan berakhir saat Jaemin mengunjungi anak dan istrinya nanti.
"Mumpung lagi bahas topik lo jadi papa, mendingan lo setelah ini kurangi deh sikap aneh dan gak waras lo. Lo harus tunjukin contoh yang baik buat anak lo. Gue gak mau ntar lo nanti jelek-jelek di mata anak lo."
Senyuman Jeno jadi hilang. Ini kenapa kedengaran temannya yang sedang memberikan nasihat ini seperti sudah biasa menjadi seorang ayah?
"Jen, lo dengar gak gue ngomong apa?"
Jeno memutar bola matanya ke langit mendengar pertanyaan Jaemin yang seolah menunjukkan kalau ia itu anak remaja yang masih bandel. "Lo malah ngomong kayak udah punya anak sepuluh." Sambil tertawa setelahnya, ia menjawab. "Bro, emangnya lo udah bersikap dewasa yang selayaknya enggak? Lo bahkan masih aja menilai sesuatu seenak lo tanpa mau ngecheck dulu. Kalo gitu, dewasa gak ya?" Ia sengaja bertanya berharap kalau Jaemin sadar apa yang sedang temannya itu sekarang lakukan.
Dan ekspresi Jaemin benar-benar kusut di kamarnya sekarang. "Lo sebenarnya mau ngomong apa, dodol? Tinggal ngomong aja gak usah bertele-tele. Kayak anak sasindo aja."
Tanpa sadar Jeno menggelengkan kepalanya. Benar-benar sulit sekali dengan temannya yang satu ini. "Malas gue ngomong sama lo. Buang-buang waktu banget. Giliran ke orang gercep. Kalo ke diri sendiri lebay malah. Ya udah, besok harus datang lo. Kalo gak gue gak bakal ngasi izin lo ketemu sama anak gue lagi."
Jaemin menghela napas. "Iya ya, gue besok ke rumah sakit. Ngambek kayak cewek aja lo. Ngomong-ngomong, anak lo cewek apa cowok, Jen?"
"Menurut lo?" Jeno sengaja ingin membuat Jaemin penasaran. Bayi dalam gendongan Karina itu ia lirik sekilas dengan senyum mekar.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Always Been You✔️
FanfictionWinter, gadis skater dari Thunder Clan yang serba bisa seperti mengalami mimpi buruk saat tiba-tiba diminta bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga teman kepada orang tuanya. "Kalau adek gak mau, papa akan bakar deck yang ditata indah...