04. Retaknya Sebuah Hubungan

126 24 0
                                    

Alam mengendarai motor nya dengan kecepatan tinggi, ia tak menyangka akan berucap seperti itu kepada adik nya sendiri, Alam membenci emosinya sendiri, itu diluar kendalinya.

Mungkin kali ini ia akan menginap di rumah Jeno untuk menenangkan pikiran, bosan rasa nya jika ia harus melihat wajah ayahnya.

Sampai ditujuan. Alam masuk tanpa memanggil sang pemilik rumah atau mengetuk pintu, ia langsung saja masuk kedalam rumah sahabat nya tanpa permisi. Lagi pula ia juga sudah sering menginap dan bermain disini.

"Loh Al? Kok tiba-tiba ada disini?" heran Jeno baru saja turun dari lantai atas.

"Nginep ya bro." ujar nya mendapat anggukan dari sang empu.

"Kenapa lagi lo? Hidup nggak ada semangatnya sama sekali, gue liat." sahut Jeno duduk sofa yang ada.

Alam pun ikut duduk disamping nya. "Semesta nampar gue tadi." jawab nya malas.

"Demi apa seorang Semesta yang baik hati sekarang berani menampar abang tercintanya?!" heboh Jeno seakan tak percaya.

Jeno membenarkan posisi duduknya, ia menatap Alam penasaran. "Eh, tapi kok bisa lo ditampar sama tuh bocil?" heran nya mengernyitkan dahi.

Alam mengendus kasar. "Cuma karena si tua bangka, dia jadi gini sama gue!" kesal nya menatap Jeno nyalang.

"Sebab akibatnya apa? Coba lo jelasin ke gue. Kalian kan emang udah biasa kalo berantem cuma gara-gara bokap lo, tapi kok tumben sampai ditampar gitu?" sungut nya masih tak paham.

"Gue bilang sama dia kalo gue mau bunuh si tua bangka, terus dia malah marah sama gue dan malah sampe mengungkit masa lalu." cecar Alam menjawab.

"Dia selalu ngelarang gue buat habisin tuh orang, karena belum dapetin apa yang dia mau dari Berto." sambung nya lagi membuat Jeno sedikit paham.

"Dapetin apa maksudnya?" ucap Jeno menatap lekat sang empu.

"Kasih sayang Alberto, selama ini dia cuma pengen dapetin itu dari dia, karena dari dulu Esta nggak pernah ngerasain yang namanya kasih sayang orang tua, dia udah nggak butuh kasih sayang bunda lagi, lo tau kan kondisinya gimana. Tapi sekarang dia cuma butuh kasih sayang dari seorang ayah yang tak pernah ia rasakan dan dapat kan." jelas nya memberitahu dengan sungguh-sungguh.

Jeno mengangkat alisnya satu keatas. "Lo kalo kasih penjelasan yang bener dong, susah amat neranginnya! Panjang, belibet dan tidak jelas!" ujar Jeno menggelengkan kepalanya pelan.

"Tapi lo paham kan apa yang gue maksud?" tanya Alam menatap Jeno tajam.

"Sedikit." jawab nya manggut-manggut.

"Terus rencana lo mau bunuh Alberto nggak jadi?" tanya Jeno sambil mengangkat alisnya satu dengan dahi berkerut.

"Nggak, sewaktu mau pergi dari rumah, gue bilang sama Esta buat kejar apa yang dia mau sampai dapat, tapi nggak usah kenal bunda dan gue lagi." terang Alam membuat Jeno langsung berdiri dari duduknya dengan mata melotot kaget.

"Lah, gimana sih Al!? Ngapain lo ngomong gitu!" marah nya ingin sekali menimpuk Alam dengan meja.

Alam memberikan tatapan polosnya. "Salah kalo gue bilang gitu sama dia? Dia aja cuma peduli sama ayah yang dicintainya itu!" ucap nya kesal.

"Ya wajar lah kalo dia gitu! Lo nggak pernah ngerasain ada diposisi nya! Karena lo udah pernah dapetin rasa yang tengah dia kejar-kejar itu Alam ... " geram nya menggigit bibir bawah nya kencang.

"Terus gue salah?" tanya nya tanpa dosa.

"Nggak juga. Tapi, omongan lo itu bisa buat dia kehilangan semangat nya Al, lo satu-satunya orang yang deket dan selalu ada sama Semesta, tapi sekarang lo malah seakan-akan nggak mau lagi nerima dia." cecar nya membuat Alam berpikir kembali.

"Mending lo pulang, minta maaf sama Semesta." ujar Jeno memberi saran.

"Dih apaan! Nggak mau gue! Seharusnya dia minta maaf duluan sama gue, baru nanti gue nyusul." sungut nya bersungguh-sungguh.

"Waktu lo ninggalin Semesta keadaannya baik-baik aja kan?" tanya Jeno memastikan.

Alam menggeleng. "Nggak, dia habis kena hukuman dari Berto." jawab nya santai.

"Ngapain lo tinggalin dia Alam!!!" teriak Jeno emosi.

Nafas Jeno memburu, ingin sekali ia memanggal kepala sahabatnya itu. "Dia kan habis kena hukuman! Seharusnya lo obatin dia! Lo peluk dan tenangin dia Al!" geram nya sangat menahan diri agar tak memberi bogem mentah kepada sahabatnya ini.

"Udah terlanjur." sahut nya duduk kembali seperti semula.

Jeno menghembuskan nafas nya berat, ia meraup wajah nya kasar. "Terus lo mau bersikap seolah-olah lo nggak peduli sama dia gitu, hah?" tanya Jeno menatap nanar sang empu.

"Bisa dibilang gitu, mungkin beneran nggak peduli lagi." angguk nya sambil mengeluarkan handphone nya dari dalam saku.

"Terserah deh mau lo apa! Capek gue hadapin sikap lo!" ucap Jeno sudah pasrah.

"Terus kalo Semesta kenapa-napa, lo nggak mau bantuin dia lagi?" tanya nya kembali hanya untuk memastikan.

"Nggak, kan gue udah bilang nggak peduli." sungut nya menatap kesal Jeno.

"Jahat sih gue bilang, awas aja nanti kalo lo nyesel!" ujar nya berlalu pergi meninggalkan Alam yang terlihat sama sekali tak merasa bersalah.

"Terserah." sahut Alam bodo amat.

Disisi lain Semesta tengah berada di suatu tempat yang selalu membuatnya nyaman, ia berdiri diatas jembatan gantung yang sudah tak beroperasi lagi.

Suasana sepi dan hening membuat nya tenang, semua beban seakan terangkat dari pikirannya. "Kalo bang Alam udah nggak peduli lagi sama gue, terus yang jadi penyemangat gue siapa lagi? Yang jadi pelindung gue siapa ... " lirih nya menatap keatas langit yang gelap.

Mata Semesta mengamati bulan yang mulai tertutup awan hitam. "Andai dulu ayah sama bunda bisa adil sama kita, semua pasti nggak bakalan kayak gini ... "

"Ayah selalu nyalahin gue atas apa yang terjadi sama bunda, sedangkan gue sendiri nggak tau apa-apa waktu itu." gumam Semesta parau.

"Kenapa selama ini gue yang selalu disalahin? Bahkan dari kecil gue nggak pernah bahagia." sambung nya sambil merentangkan kedua tangannya menikmati semilir angin.

Suasana malam hari tidak pernah gagal membuat Semesta larut didalamnya. Pandangannya beralih menatap kebawah, tempat setinggi ini tak bisa membuat nya takut, justru ia malah semakin senang menikmati keindahan ini.

"Alam, Semesta ... Nama yang indah untuk seorang kakak dan adik, namun kehidupannya tak bisa seindah namanya." ujar nya sedih.

"Gue nggak siap buat besok, bang Alam udah nggak bisa jadi perisai gue ... " lirih nya sudah pasrah apa yang akan terjadi nantinya.

Tiba-tiba saja sebuah ide terbesit dipikiran nya, namun itu adalah hal yang gila untuk ia lakukan. "Bunuh diri bukanlah jalan yang tepat Semesta," ucap nya menggeleng pelan.

"Tapi bisa dicoba. Hehe, siapa tau nanti gue mati." sambung nya berniat terjun.

"Tapi gue belum bayar utang numpuk di kantin sekolah lagi." cicit nya tak jadi melangkah terjun.

"Mana bu kantin galak plus pelit! Sekalipun gue udah mati, bakalan nggak diikhlasin tuh utang!" sungut nya kesal.

"Gimana lagi, gue udah capek juga sama semuanya! Nggak ada yang bisa buat gue bahagia di dunia ini," cecar nya pikir-pikir lagi.

Semesta menghembuskan nafasnya berat. "Tapi gue juga nggak mau jual diri maupun jadi wanita penggoda! Gue nggak serendah itu jadi wanita!" kesal nya mengingat permintaan sang ayah.

"Kalo gue turutin permintaan ayah, siapa juga yang mau sama cewek jelek, petakilan, polos kayak gue!" ujar nya menggaruk kepalanya tak gatal.

"Tuh kan ribet banget hidup gue! Udah lah mending mati aja!" ceplos nya membuat ancang-ancang untuk menerjunkan diri dari atas jembatan.

"Gue mulai hitung, satu ... Dua ... Tig-"

"Arghh!!"

DUNIA SEMESTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang