8: Dingin

498 127 11
                                    

Ketukan pintu di kamar Kim Dokja bergema ke seisi ruangan, menyentaknya membuka kelopak mata yang berat. Kim Dokja menarik selimut tebalnya mengungkung dirinya agar lebih hangat.

Suara Lee Sookyung berujar dari luar kamar, "Dokja, bangun. Jangan sampai terlambat ke sekolah."

Setelah menyampaikan itu, suara langkah kaki ibunya pun terdengar menjauh. Kim Dokja kembali memejamkan matanya. Sekujur tubuhnya begitu berat dan lemas. Walaupun sudah mengenakan selimut tebal serta mengatur suhu ruangan di batas normal, dingin yang menjalar di tubuhnya masih tak kunjung sirna. Di saat yang bersamaan, peluh justru terbentuk di keningnya.

Selang sepuluh menit, suara ketukan kembali bergema. "Dokja, ini sudah jam berapa? Waktunya bangun. Kau bisa ketinggalan bus. Kim Dokja!"

Kim Dokja memaksa tubuhnya bangkit terduduk. Diusapnya wajahnya tampak frustrasi. "Aku sudah bangun, Bu!" serunya sedikit serak.

Dengan begitu, Lee Sookyung tak lagi mengetuk berkali-kali pintu kamarnya hingga menciptakan kebisingan. Kim Dokja mengangkat kakinya membuka pintu hanya setelah dia mendengar langkah ibunya kembali menjauh. Pemuda itu memastikan ibunya sudah beranjak ke dapur saat dia menuju kamar mandi yang letaknya di luar kamarnya.

Dia menyalakan keran kemudian mulai membilas wajahnya. Kim Dokja memandang sejenak pantulan dirinya di kaca wastafel. Wajahnya sungguh pucat. Jika dia mengaku baik-baik saja, ibunya pasti tidak akan percaya.

Maka dari itu, Kim Dokja tinggal lebih lama di kamar mandi sampai ibunya kembali datang mengetuk pintu bertanya keadaannya.

"Perutku sedikit sakit," dustanya berdalih, "Aku akan berangkat sebentar lagi!"

"Apa kau butuh obat? Mau Ibu buatkan sup?"

"Tidak, Bu. Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku, Ibu berangkat saja lebih dulu. Bukannya Ibu ikut meeting penting hari ini?"

Lee Sookyung bimbang. Namun, pada akhirnya dia berkata, "Ada obat sakit perut di kotak P3K di dapur, minum itu setelah kau menghabiskan sarapanmu. Uang makan siangmu Ibu letakkan di dekat vas bunga."

"Aku mengerti," sahut Kim Dokja berusaha terdengar riang seperti biasa. "Aku bukan anak kecil lagi, Bu. Aku tahu cara mengurus diriku sendiri," lanjutnya sedikit tertawa.

Mendengar nada suara putranya yang masih tampak semangat seperti biasa, Lee Sookyung berusaha meletakkan kekhawatirannya. "Jaga dirimu, Ibu berangkat dulu."

Kim Dokja tinggal lima menit lagi di kamar mandi sambil membasuh tubuhnya menggunakan air hangat. Saat merasa sangat yakin bahwa ibunya sudah meninggalkan rumah, barulah dia membuka pintu dan kembali ke kamarnya. Dia tidak berniat absen dari sekolah jadi Kim Dokja mulai menarik ke luar seragamnya dari lemari sambil memasukkan baju olahraganya ke dalam tas.

Mantel coklat serta syal hitam jadi pilihannya demi melindunginya dari terpaan dingin. Semua persiapan dilakukannya buru-buru sebab takut ketinggalan bus pagi ini.

Tentu saja dia tak lupa membungkus dua potong sandwich yang dibuatkan ibunya ke dalam tumpukan lembaran tisu serta menyambar uang sakunya hari ini yang ditaruh dekat vas bunga di ruang tamu. Kim Dokja meninggalkan flat tempatnya tinggal agak mepet dari jadwal biasanya. Mau tak mau dia terpaksa harus berlari di sepanjang jalan menuju halte.

Pemuda itu baru benar-benar bisa bernapas lega saat mendudukkan dirinya di bangku bus.

Nafsu makan Kim Dokja sedang tidak ada tapi dia tak mau menyia-nyiakan niat baik ibunya yang masih berusaha menyiapkannya sarapan di tengah kesibukan. Meski lidahnya terasa pahit dan tenggorokannya sulit menelan makanan, Kim Dokja memaksa setiap gigitan untuk ditelan paksa. Dia menghabiskan sarapannya tanpa sisa.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Kim Dokja bertanya-tanya bagaimana dia harus menghadapi ibunya malam nanti?

Kalau tahu putranya sakit, Lee Sookyung pasti akan membatalkan rencana perjalanan bisnisnya lusa nanti. Kim Dokja tidak mau hal itu sampai terjadi. Ibunya sudah menantikan perjalanan bisnis ke Pulau Jeju ini sedari bulan lalu. Tidak hanya demi mengincar promosi kenaikan jabatan di kantor, Kim Dokja sangat mengerti jika ibunya juga butuh liburan. Perjalanan bisnis seperti ini adalah salah satu kesempatan bagus agar ibunya punya waktu menikmati hari.

Bus itu berhenti di halte dekat sekolah. Dari sana, Kim Dokja tinggal berjalan sedikit untuk bisa menemukan gerbang sekolahnya.

Saat Kim Dokja tiba, dia berpapasan dengan Kim Roksu di koridor menuju kelas. Pemuda berambut hitam nan tinggi itu sedang membawa setumpuk buku catatan siswa. Tampaknya habis dari ruang guru. Kim Dokja terlambat menyadari jika hari ini adalah waktu piket temannya.

"Kau baik-baik saja?" Kalimat itu yang pertama terlontar dari bibir Kim Roksu.

Kim Dokja malas menanggapi.

"Sudah kubilang kemarin, kau lebih baik istirahat dulu di rumah," komentar Kim Roksu melirik pada wajah pucat temannya.

"Mana bisa begitu."

Keduanya pun berjalan beriringan menuju kelas. Setibanya di kelas, Kim Dokja lekas ke bangkunya sendiri dan membaringkan kepalanya sedang Kim Roksu menyibukkan diri mengatur buku catatan di meja guru kemudian memeriksa apakah spidol kelas berfungsi dengan baik. Saat menemukan dua spidol yang tulisannya sudah samar, Kim Roksu berinisiatif pergi mengisi tinta.

"Kim Roksu, guru olahraga berencana menggunakan lapangan basket indoor hari ini."

Kim Roksu yang sedang mengisi tinta di dekat jendela lekas menoleh. Di dekatnya berdiri Kang Soyeong, rekan piketnya hari ini. Gadis pirang yang mengenakan jaket baseball tim favoritnya di luar lapisan blazer itu datang mengabari setelah diminta Kim Roksu bertanya ke guru.

"Beritahu Ketua Kelas agar menyuruh yang lain mengganti seragam dan pergi ke lapangan basket indoor," ujar Kim Roksu melanjutkan kembali kegiatannya.

"Oke." Kang Suyeong setuju. Dia pun pergi mencari Lee Hyunsung selalu Ketua Kelas 2-4.

Setelah selesai mengisi tinta, Kim Roksu menghampiri sosok Kim Dokja. Ditepuknya kepala temannya lembut. "Hei, pergilah ke ruang kesehatan."

Kim Dokja bergumam kecil, "Tidak mau."

"Kau cuma menyiksa dirimu sendiri kalau turun ke lapangan."

"Sialan, aku tidak selemah itu."

Kim Roksu tidak tahu lagi bagaimana membalas keras kepala pemuda satu ini. "Aku mau pergi ganti seragam dan kelas akan dikosongkan. Aku tidak menyarankanmu tinggal di sini saat tidak siapa pun."

Kim Dokja mengerang lirih, merasa kata-kata temannya jadi sangat menyebalkan hari ini. "Aku tahu, aku akan segera menyusul. Kau cerewet sekali."

.

.

.

Bersambung.

Kim Dokja itu nama tengahnya memaksakan diri.

[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang