25: Nilai

232 61 6
                                    

Kim Dokja masih tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Dia memegang lembaran kertas ujiannya seolah separuh nyawanya masih tertinggal seusai gurunya membagikan hasil ujian.

"Mengapa kau tertegun begitu?" Han Sooyoung yang bangkunya dilewati oleh Kim Dokja jadi penasaran dengan langkah lambat pemuda itu. Dia merampas kertas ujian yang digenggam oleh Kim Dokja, memutus memeriksanya sendiri. "Kim Dokja, bagaimana bisa nilaimu lebih tinggi dariku?!" pekiknya tak menyangka.

"Kembalikan!" Kim Dokja merebut kembali hasil ujiannya. Namun, kalimat Han Sooyoung sudah terdengar ke seisi kelas. Banyak siswa yang tak percaya seorang Kim Dokja yang kerap duduk di lima peringkat terbawah meraih nilai tinggi.

Mendadak, dia dikerubungi dan kertas ujiannya jadi bahan operan teman-teman sekelasnya.

"Gila, Kim Dokja! Apa rahasiamu?"

"Belajar tentu saja! Memangnya apa lagi?" decak Kim Dokja meminta kembali kertas ujiannya yang kini berakhir di tangan Han Yujin.

"Apa-apaan ini? Matematika 85? Bahasa Inggris 87?" Han Yujin melotot seolah baru menyaksikan suatu hal yang mustahil.

Kertas ujian itu diambil Kim Dokja lalu cepat-cepat dia memasukkannya ke dalam tas sekolahnya tanpa mengizinkan Han Yujin mengecek semuanya.

"Kau jangan-jangan les tanpa sepengetahuanku, ya?"

"Omong kosong, buat apa aku melakukannya?"

"Lalu bagaimana bisa nilaimu melonjak pesat seperti itu? Kau tidak mungkin ...."

"Aku tidak melakukannya! Jangan seenaknya berpikir macam-macam," sergah Kim Dokja tersinggung karena tahu dianggap menyontek.

Han Yujin terus menagih penjelasan. Sikap keras kepala itu membuat Kim Dokja segera menunjuk ke arah Kim Roksu. "Aku diajarinya, kau puas?"

"Kim Roksu?"

Sedang pemuda yang dibicarakan kini berdiri menuju lokernya di belakang kelas. Kim Roksu mengganti sepatu kelasnya dengan sebuah sendal. Dalam hati dia sedang berpikir perlukah dia mengunjungi toko buku hari ini atau sekalian tunggu hari libur saja?

"Roksu-ah, benarkah itu?"

Mendadak dilempar pertanyaan membuat isi kepala Kim Roksu jadi buyar. "Benar apa?"

"Nilai Kim Dokja itu berkat kau yang mengajarinya?"

"Tidak mungkin." Kim Roksu menutup lokernya sembari mendengus. "Itu bukan karenaku tapi karena usahanya sendiri."

Walau Kim Dokja terus mengeluh tapi pemuda itu tetap mengikuti semua arahan Kim Roksu. Semua materi yang Kim Roksu berikan dan minta dia hafalkan, semua itu Kim Dokja kerjakan dengan patuh sampai-sampai Kim Roksu pernah menemukan pemuda itu sedang berjongkok di belakang halaman sekolah yang sepi untuk diam-diam menghafal kosa kata bahasa Inggris. Kim Dokja tampaknya malu jika ada yang mengetahui dia belajar jadi dia pergi menepikan dirinya.

Sebab tahu dedikasi luar biasanya maka Kim Roksu juga mengajarinya dengan serius. Dia membuatkan temannya catatan materi kilat serta mencetakkannya kumpulan soal-soal prediksi yang kemungkinan besar ke luar di ujian. Kim Roksu tidak pernah setengah-setengah jika dia telah memutuskan sesuatu. Dia memperhatikan perkembangan Kim Dokja selama dua minggu ini bahkan pergi sejauh menelepon pemuda itu setiap malam atau di pagi buta hanya untuk melontarkan berbagai pertanyaan sulit yang membuat Kim Dokja tak berhenti menggeram marah saat berusaha menjawab kuis mendadak itu.

Upaya kerasnya benar-benar berbuah hasil.

Terutama di Matematika dan Bahasa Inggris.

"Hehh, apa kalian membentuk kelompok belajar? Kenapa tidak bilang-bilang? Kalau Kim Roksu mau mengajar, aku mau ikut juga," sahut Kang Suyeong yang merengut melihat nilai ujiannya.

Kim Roksu yang mendengar itu mengembuskan napas berat, dia memilih mengangkat kaki meninggalkan kelas yang riuh. Ujian akhir semester telah selesai, setelah ini yang tersisa tinggallah mengikuti upacara kelulusan senior mereka lalu akan ada waktu libur sejenak sebelum semester baru dimulai.

Awal April nanti saat dia sudah naik kelas tiga, Kim Roksu punya janji pemotretan dengan tim Min Jiwon. Wanita itu mengundur jadwalnya dengan pertimbangan dia ingin pemotretan itu dilakukan ketika musim semi tiba.

Kim Dokja tidak betah tinggal di kelas untuk diwawancarai bagaimana metode belajar yang diberi Kim Roksu, dia buru-buru berlari menyusul temannya diikuti Han Yujin yang melemparkan hasil ujiannya yang bernilai merah ke laci mejanya sendiri dengan sikap cuek. Mau itu nilainya bagus atau buruk, Han Yujin merasa tidak ada gunanya.

Toh, tak lama lagi dia akan meninggalkan sekolah ini.

"Sebagai perayaan, kau harus mentraktirku," tukas Han Yujin sepihak merangkul Kim Dokja.

"Kalau setiap nilai bagus harus mentraktir seseorang itu artinya Kim Roksu harus mentraktir kita tiap hasil ujian dibagikan."

"Benar juga." Han Yujin berpikir itu masuk akal jadi dia mengulurkan tangannya menarik belakang blazer Kim Roksu yang berjalan di depannya. "Roksu-ah."

"Kau sudah punya gaji sendiri, jangan macam-macam," balas Kim Roksu.

Meskipun dia mengatakan demikian, Kim Dokja dan Han Yujin sama-sama saling berbagi tatapan penuh arti. Kedua pemuda itu kompak menyerobot antrian Kim Roksu saat tiba di kafetaria. Mereka lalu mengambil lebih banyak menu makanan hari ini dibanding biasanya kemudian saat waktunya membayar, keduanya sama-sama menunjuk ke arah Kim Roksu.

"Bibi, temanku peringkat satu di ujian kali ini jadi dia yang akan membayar tagihannya!"

"Terima kasih, Bibi. Tagihan kami akan dibayar olehnya."

Lalu keduanya pergi tertawa mencari kursi untuk duduk makan siang.

Kim Roksu yang ditinggal sepihak disuruh membayar hanya bisa menghela napas sambil menarik kartu makannya dan men-scan ke layar yang tersedia. Bibi itu sangat ramah, dia memberi Kim Roksu satu potong kue strawberry dan mengatakannya itu adalah hadiah karena dia sudah bekerja keras di ujian kali ini.

"Terima kasih, Bibi." Kim Roksu membungkuk sopan sebelum menyusul langkah teman-temannya.

Han Yujin melambai penuh semangat ke arahnya, tak lupa menyeru, "Tolong belikan minum juga!"

Kim Dokja ikut menimpali saat Kim Roksu meletakkan nampan makanannya ke meja. "Aku mau teh dingin."

"Aku soda," sahut Han Yujin.

Kim Roksu mendesis tapi dia tetap membawa langkahnya pergi menuju mesin penjual minuman otomatis. Dia membeli tiga macam minuman dengan air mineral untuk dirinya sendiri.

Sewaktu hendak duduk kembali dan mulai menyantap makanannya, ponsel Kim Roksu bergetar. Pemuda itu pun meluangkan waktu untuk menepikan diri menjauh dari keramaian kafetaria demi menjawab panggilan teleponnya.

"Halo, Ayah." Kim Roksu menujukan langkahnya meninggalkan kafetaria, dia pergi ke koridor sambil terus menjawab pria di seberang telepon. "Iya, hasil ujianku sudah keluar hari ini, aku baru berencana mengirimkannya pada Ayah dan Ibu nanti," ujarnya tersenyum tipis.

Pemuda itu berdiri di dekat jendela. Satu tangan kanan menahan ponselnya tetap di telinga sedang tangan kirinya dia masukkan ke saku celana.

"Hm?" Riak di wajah tenangnya perlahan berubah seiring senyum yang menghilang lantaran mendengar kabar dari seberang telepon. "Ah, kalian akan pulang?"

.

.

.

Bersambung.

:)

[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang