3: Ekspektasi

591 167 6
                                    

Kim Dokja merapatkan jaketnya. Bibirnya mendesiskan keluhan akan suhu dingin yang masih mengungkung atmosfer. "Kenapa musim semi tidak datang lebih cepat? Aku butuh kehangatan."

"Suhu di musim semi juga masih cukup dingin. Kalau mau hangat itu mestinya musim panas," jawab Han Yujin membuka plastik onigiri di tangannya.

"Itu panas! Apa kau tidak tahu bedanya hangat dan panas? Aku lebih tidak mau berkeliaran kalau matahari menyengat," geramnya. Atensi Kim Dokja lantas bergeser pada Kim Roksu yang sedang meneguk sekaleng teh dingin. "Roksu-ah, apa tenggorokanmu tidak membeku?"

"Hm?" Kim Roksu meletakkan kaleng tehnya ke atas meja tempat mereka sedang berkumpul di sebuah gazebo sekolah. "Menurutku sekarang sudah cukup hangat," ujarnya menatap pada langit yang cerah. Menjelang akhir Februari, salju sudah lama menipis.

"Tuh, kan. Kau yang berlebihan," timpal Han Yujin mencibir.

Kim Dokja baru akan menggaungkan protes saat tangan Kim Roksu yang duduk di seberangnya mendadak terulur menyentuh keningnya. "Apa yang kau lakukan?" Ditepisnya kasar tangan pemuda itu.

Kim Roksu menggeleng pelan. "Istirahatlah di rumah kalau tubuhmu tidak sanggup menanganinya."

"Apa-apaan itu? Apanya yang tidak sanggup? Kau meremehkanku?"

Kim Roksu tidak membalas, dia lekas angkat kaki berdiri. "Ayo kembali ke kelas."

"Eh? Secepat ini? Kita belum lima menit duduk di sini?" Han Yujin yang masih memiliki separuh onigirinya buru-buru mengejar langkah Kim Roksu sambil menyumpalkan sisa onigiri ke dalam mulutnya. "Twungghu aghu!" serunya dengan mulut penuh onigiri.

Kim Dokja tak mau tinggal lebih lama di luar dengan angin yang dirasanya menusuk lapisan kulitnya. Dia justru bergegas lari lebih dulu mendahului Kim Roksu sambil berteriak, "Kalian terlalu lamban!"

Langkah Kim Roksu tetap seirama walau bayangan Kim Dokja sudah menghilang menjauh. Di sampingnya, Han Yujin berusaha mengunyah habis onigirinya.

"Han Yujin."

"Mn?" Han Yujin menoleh pada temannya dengan kedua pipi yang penuh.

Kim Roksu mendengus geli melihatnya makan bak tupai. "Habisi dulu makanan di mulutmu."

Han Yujin mengangguk patuh. Dia pelan-pelan berusaha menelan makanan di mulutnya.

Kim Roksu pun melanjutkan kalimatnya setelah semenit berlalu hening, "Kau ada waktu sepulang sekolah hari ini?"

Han Yujin menggeleng sebagai jawaban. Sepasang mata hitamnya memaku penuh binar tanya yang bisa dimaknai Kim Roksu sebagai balasan, "Ada apa memangnya?"

"Mau main ke rumahku?"

Pertanyaan tersebut membuat mata Han Yoojin membulat lebar. Dia segera mengangguk cepat. "Mau! Mau!"

Kim Roksu selalu sibuk bekerja atau belajar jadi sulit mencari waktu menemuinya di luar waktu sekolah. Mereka sudah sekelas hampir dua tahun tapi Han Yujin belum pernah mampir ke rumah Kim Roksu biar sekali. Itu adalah salah satu hal yang disesali Han Yujin karena dia merasa belum mengenal Kim Roksu terlalu jauh sebagai teman.

"Tapi bukannya kau ada kerja paruh waktu?"

"Aku berhenti kemarin," jawab Kim Roksu tenang sembari memasukkan tangannya ke dalam saku blazer. "Aku masih mencari pekerjaan pengganti jadi kupikir tidak ada salahnya bersantai sedikit sampai aku menemukan pekerjaan baru."

"... Apa cuma aku yang diundang?"

Kim Roksu meliriknya singkat. "Ajak Kim Dokja juga, aku pernah berjanji padanya akan memperlihatkannya koleksi bukuku."

Han Yujin berdecak tak senang, dipikirnya dia sedang diistimewakan ternyata tidak. "Berarti bukan aku saja yang jadi teman sekelas pertama yang mengunjungi rumahmu."

Persaingan aneh semacam itu bukan hal yang bisa dipahami Kim Roksu. Pemuda itu menggeleng pelan. "Kalau kalian memang ada waktu bersaing, kenapa tidak berlomba siapa yang lebih unggul di UAS nanti?"

"Bukannya itu sudah jelas? Aku pasti kalah darinya!"

"Itu karena kau tidak mau belajar."

"Ugh."

~

Diajak mampir ke rumah Kim Roksu bagai kesempatan yang sulit dibayangkan. Han Yujin dan Kim Dokja sependapat kalau ini adalah peluang sekali seumur hidup.

"Menurutmu seperti apa orang tuanya? Kira-kira dia punya saudara?"

"Aku tidak pernah mendengarnya membahas saudaranya jadi kemungkinan besar dia anak tunggal?"

"Itu masuk akal."

Kim Roksu berpura-pura tidak mendengar bisikan kedua temannya yang masih terdengar sampai ke telinganya. Dia fokus menggulir artikel berita di halaman web ponselnya. Langkahnya berjalan santai di depan, sedang kedua temannya mengobrol di punggungnya.

Kim Roksu selalu menerima beasiswa penuh dari sekolah dan tidak hanya itu, seolah belum cukup, dia tetap sibuk bekerja paruh waktu dan mengambil dua atau tiga pekerjaan sekaligus. Pemuda itu sangat langka ikut nongkrong dengan teman-temannya juga selalu menolak diajak pergi belanja ini-itu dan selalu mengeluarkan dana seperlunya. Kim Roksu cuma terlihat cukup longgar dalam pengeluaran jika itu menyangkut buku. Itu sebabnya, teman-temannya punya asumsi jika kehidupan Kim Roksu dibaluti kesederhanaan.

Setelah naik bus, mereka berjalan sepuluh menit lagi hingga memasuki sebuah perumahan yang perlahan disadari oleh Han Yujin dan Kim Dokja jika area ini merupakan lingkungan kalangan menengah ke atas. Dua remaja yang menganggap Kim Roksu adalah pemuda biasa seperti mereka kini harus mereguk fakta bahwa imajinasi mereka pecah berantakan ketika Kim Roksu berhenti di sebuah rumah bertingkat dua dan menekan bel gerbang kayu nan megah.

Tak lama kemudian seorang satpam membuka pintu sambil berkata, "Anda kembali lebih awal, Tuan Muda."

Langkah Kim Roksu tertahan sebab dirasanya tidak ada lagi yang mengikutinya. "Sampai kapan kalian mau berdiri di sana? Masuk."

"... Ini rumahmu?" tanya Han Yujin menunjuk tak percaya.

Kim Dokja bahkan lupa menutup mulutnya, membiarkan bibirnya terbuka menunjukkan reaksi tercengangnya.

Kim Roksu mengabaikan pertanyaan yang sudah jelas apa jawabannya.

Han Yujin buru-buru menarik lengan Kim Dokja ikut masuk bersamanya. Keduanya tidak tahu harus berkata bagaimana saat tahu jika teman mereka ternyata anak orang kaya!

Hati Han Yujin rasanya diberi pukulan menakutkan. Tidak hanya diberkahi kejeniusan, Kim Roksu juga disuguhi latar belakang menakjubkan. Remaja itu mengembuskan napas lemah. "Kau benar, Roksu-ah."

"Soal apa?"

"Hidup memang tidak adil."

.

.

.

Bersambung.

Keadilan itu memang semu, Bung.

Omong-omong, selamat pagi dan semoga hari kalian disertai keramahan! :)

[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang