36: Kedatangan

277 63 17
                                    

Setelah Sung Hyunjae kembali disibuki dengan perannya di kafe, Han Yujin menepikan diri duduk di sofa bagian sudut. Dia memandang ke luar jendela, memaku kesibukan kota yang riuh.

Pikirannya sedang mengembara saat teleponnya berdering. Panggilan masuk datang dari Kim Dokja. Tampaknya penolakan Han Yujin atas ajakannya masih tak diterima oleh pemuda itu.

Setelah mengangkat telepon, apa yang Han Yujin dengar adalah pernyataan yang membuat keningnya mengernyit.

"Memangnya kau sibuk apa? Ayolah, ini akhir pekan. Kau tidak mungkin ikutan gila kerja seperti Kim Roksu, kan?"

Han Yujin memejamkan mata. Sejujurnya dia sedang tak ingin mendengar nama Kim Roksu disebutkan, hatinya masih dirundung tak nyaman tiap kali nama itu disebut. Pandangan dingin dan penuh perendahan yang diberi Kim Roksu padanya masih tercetak jelas dalam memorinya.

"Dokja, maafkan aku tapi tidak bisa hari ini," lirih Han Yujin yang merasa enggan ke mana pun. Pikirannya rumit dan dia merasa sedang butuh waktu sendiri.

"Kau sakit?"

"Tidak, aku baik-baik saja."

"Lalu kenapa? Beri aku alasan yang masuk akal." Kim Dokja terdengar tidak terima begitu saja. "Jangan-jangan karena kau sudah terlalu lama duduk di samping Roksu sampai-sampai energi anti-sosialnya ikut terkontaminasi."

Kesabaran Han Yujin lesap sudah. Keras kepala pemuda itu benar-benar menguji dirinya. Han Yujin yang sedang tak mau repot berdebat akhirnya menyergah, "Kim Dokja, cukup. Tidak semua orang punya waktu luang dan tanpa beban sepertimu," tandasnya tegas ingin mengakhiri obrolan yang mulai tak mengenakkan.

Namun, Kim Dokja justru membalasnya lebih berang. "... Apa? Kenapa kau jadi menghakimiku? Memangnya beban apa yang kau punya sampai merasa paling tersakiti begitu?"

Pertanyaan tersebut bagai memercikkan api di hati Han Yujin yang sedang bersumbu pendek. Dia jengkel sekali dengan bagaimana Kim Dokja terdengar merendahkan perasaannya.

Dengan rahang yang mengetat, Han Yujin membalas menggunakan suara yang ditekan, "Iya, ya. Memangnya beban apa yang kupunya dibanding dirimu? Kau bisa puas bermain, melakukan apa pun yang kau mau tanpa perlu memikirkan bagaimana melanjutkan hidup tanpa orang tua, tak perlu sibuk berpikir harus tinggal di mana lagi atau makan apa besok. Aku punya hak apa untuk menghakimi hidupmu yang sempurna itu?"

"Han Yujin."

"Kau tidak pernah jatuh atau terluka jadi mana mungkin kau mengerti rasanya tersakiti?"

Han Yujin mematikan ponselnya dan melemparnya ke atas meja. Dia muak berbincang dengan orang yang hanya mau dimengerti terus.

"Apa itu temanmu? Kau tak seharusnya berkata begitu padanya."

Han Yujin ingin membantah tapi ketika dia melihat orang yang mengatakan hal itu adalah Choi Jung Soo, bibirnya kembali terkatup rapat.

Choi Jung Soo duduk sambil memegang gelas berisi wine yang baru diambilnya dari bartender.

"Aku tak tahu apa yang dikatakannya padamu sampai kau kesal tapi apa pun yang dia bilang, itu tidak membenarkanmu untuk membalas demikian." Choi Jung Soo menatap sejenak pada sekitar, memperhatikan beberapa pekerjanya. "Kita tidak pernah tahu apa yang sudah seseorang jalani. Meskipun dia tampak baik di luar, belum tentu dia baik-baik saja di dalam, kan?"

Mendengar hal itu, hati Han Yujin yang semula panas perlahan mendingin. Kata-kata Choi Jung Soo masuk akal. Dia mungkin sudah keterlaluan tadi.

Choi Jung Soo menoleh kembali memandang pemuda yang sebenarnya seusia dengannya.

"Aku tak bermaksud menasihatimu, anggap saja ini kata-kata biasa dari seorang kenalan."

Choi Jung Soo menyesap wine di tangannya. Dia tak berhenti sampai wine itu habis. Pemuda itu lantas mengurai senyum puas. Dia meletakkan gelas kosong ke atas meja dengan suara denting yang nyaring.

"Aku hanya tak mau kau menyesal sepertiku."

~

"Canopus, kenapa kau tidak bilang lebih awal kalau kau bertukar hari dengan Sirius?"

Seorang pemuda berambut pirang platinum membalas tenang protes Rose yang menghubunginya siang ini. "Buat apa aku mengatakannya padamu?"

"Kalau aku tahu, aku juga akan menukar hariku dengan yang lain! Aku tak mau seharian melihat mukanya!"

"Kau 'kan bertemu dengannya hampir setiap hari," decak pemuda itu memarkirkan mobilnya di parkiran bandara.

Dia mengabaikan sejenak omelan Rose. Setelah selesai, memastikan mobilnya aman, barulah pemuda itu meraih ponselnya yang dia letakkan kursi samping pemudi. Dimatikannya mode speaker telepon itu dan kini mendekatkannya langsung ke telinganya.

"Moon Hyuna, aku tak peduli dengan pertikaian kalian. Jangan mengusikku lagi untuk hal yang tidak penting."

"Apa kau bilang?! Adin, ini jelas pen—"

Adin mematikan sambungan telepon mereka.

Dia membuka pintu mobilnya, melangkah ke luar dari mobil sedan bermerek Audi keluaran terbaru.

Terus terang, dia malas pergi repot-repot menjemput orang lain ke bandara. Kalau bukan karena ayahnya yang menyuruh, Adin enggan sekali buang-buang waktu. Pemuda jangkung berdarah blasteran itu pun membawa langkahnya masuk ke bandara. Dia pergi menuju area kafe bandara di mana kerabat yang mesti dijemputnya sudah duduk dengan secangkir kopi yang tandas.

"Kau terlambat."

Adin mendengus. "Kau beruntung aku masih mau datang. Lagi pula, kau punya kaki, kan? Ada banyak taksi di sini."

Pemuda yang diajaknya berbicara menarik kacamata hitamnya lepas. Kini, sepasang mata berwarna coklat gelap memaku sosok Adin lekat. Pemuda itu tertawa saat dia berdiri dan meraih ranselnya.

"Kenapa aku harus naik taksi yang aromanya bercampur dengan keringat orang lain? Kalau aku punya kau sebagai sopirku di sini."

Adin mengetatkan rahangnya. "Ini caramu berterima kasih? Rupanya keluarga Crossman semakin tidak tahu etika."

Alver Crossman mengenakan ransel hitamnya yang menjadi satu-satunya barang bawaannya. Dia menyampirkannya ke bahu kanan. Ditepuknya pundak sepupu jauhnya. "Kau tak perlu khawatir, aku diajari dengan baik untuk bersikap sopan pada orang-orang yang pantas menerimanya." Yang berarti Adin bukanlah salah satunya.

Dengan begitu, Alver tersenyum lalu kembali mengenakan kacamatanya. Dia berjalan mendahului Adin ke luar dari kafe.

Adin menyusul di belakangnya dengan amarah yang mendidih di hati. Dia memandang tajam punggung pemuda berkukit gelap di depannya. Tak tahan kalah dengan cara begini, Adin pun cepat-cepat melangkah ke depan hingga dia kembali sejajar dengan Alver.

"Kau benar," tuturnya menurunkan nada. "Aku memang tak pantas di matamu, itu sudah jelas sekali karena standar kita berbeda."

Adin tersenyum menawan saat dia melanjutkan tenang, "Justru karena standarmu menyedihkan itulah mengapa kau dicampakkan Roksu."

Langkah Alver terhenti.

Adin menyeringai penuh kemenangan dan terus melanjutkan langkahnya mendahului pemuda itu.

Mau itu saat ini atau di masa lalu, titik lemah Alver tak pernah berubah.

.

.

.

Bersambung.

Dia akhirnya di sini!

Alver debut!

Dan yap! Tentunya dia dalam wujud aslinya, rambut coklat gelap, kulit tan dan mata coklatnya.

Hahahah aku update tiap hari karena gak sabar nengok Alver.

[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang