32: Singgungan

226 56 1
                                    

Akhir pekan selalu membosankan. Satu-satunya yang disukai Kim Dokja dari hari libur hanyalah fakta jika dia diizinkan bangun siang. Ibunya tak akan menggedor kamarnya seperti hari biasa. Berkat itu, Kim Dokja masih menggelung dirinya di balik selimut tebal meski di luar jendela matahari telah terbit sejak lama.

Kamar pemuda itu masih dihuni kesenyapan serta jejak gelap akibat gorden tebal yang enggan Kim Dokja singkap. Suhu pendingin ruangan tidak dipasang rendah, cukup diaturnya dalam mode berangin yang sejuk.

"Ugh, jam berapa ini?" Tangan pemuda itu menggapai-gapai ke atas meja nakas di samping tempat tidur, mencari ponsel yang dia letakkan.

Pukul 08.45 pagi.

Kim Dokja menarik dirinya bangun akibat perutnya yang menggeram lapar meminta diisi. Dia berjalan gontai meninggalkan kamarnya lantas menuju kamar mandi. Kim Dokja mencuci wajahnya di wastafel lalu melapnya menggunakan handuk putih kecil. Dia tak lupa sikat gigi lebih dulu sebelum beranjak menuju dapur.

Di atas meja makan sudah tersedia sarapan lengkap.

"Tidurmu nyenyak?"

Lee Sookyung yang mengenakan celemek merah berinisiatif menuangkan sup ke dalam mangkuk kecil kemudian menghidangkannya ke atas meja sebagai menu pendamping.

Kim Dokja bergumam pelan sebagai jawaban, dagunya kini disangga oleh tangan yang menumpu pada siku di atas meja. Kelopak matanya yang berat masih setengah terpejam.

"Ibu mau pergi mengantar Nenek Lee di sebelah ke rumah sakit," kata Lee Sookyung kemudian.

"Hm?" Kim Dokja berkedip. Dia ingat salah satu tetangganya adalah seorang nenek berusia 60 tahun yang tinggal menumpang bersama keluarga putri bungsunya yang sudah menikah. "Mana putrinya?"

"Dia pergi dengan suaminya ke Busan. Mereka berangkat dua hari yang lalu, katanya mau menghadiri pemakaman kerabat dekat."

"Ah, jadi Nenek Lee sendirian di sebelah?"

Lee Sookyung mengangguk. Dia menyerahkan sumpit ke tangan putranya. "Makanlah dulu." Satu mangkuk nasi hangat yang masih mengepulkan uap didekatkan ke arah Kim Dokja. Lee Sookyung lanjut berkata setelahnya, "Sejak tadi malam badan Nenek Lee panas jadi Ibu ingin membawanya ke rumah sakit hari ini untuk diperiksa."

Kim Dokja mengerti. "Apa Ibu mau kutemani?" tanyanya mengarahkan sumpitnya menuju sajian udang tumis.

"Apa kau tidak ada kegiatan hari ini?"

"Tidak ada, minggu depan juga sekolah libur. Aku tidak ada kegiatan sampai semester baru dimulai."

"Baiklah kalau begitu, temani Ibu ke rumah sakit." Lee Sookyung setuju dengan keikutsertaannya.

~

Rumah sakit yang hendak mereka tuju berada cukup jauh dari flat yang mereka tinggali. Mempertimbangkan kenyamanan Nenek Lee maka Lee Sookyung memutuskan naik taksi.

"Tolong jaga Nenek Lee di sini, Ibu akan pergi mengurus administrasinya."

"Baik." Kim Dokja menuntun Nenek Lee yang sudah beruban dan berbadan bungkuk menuju kursi tunggu yang tersedia. "Nenek, duduklah dulu di sini."

Kim Dokja mendampingi Nenek Lee sambil sesekali bertanya apakah wanita tua itu butuh sesuatu? Ataukah dia merasa sudah tidak kuat lagi menahan sakitnya.

Nenek Lee menepuk lembut punggung tangan Kim Dokja seraya mengulas senyuman. "Aku baik-baik saja, Nak. Tidak apa, tidak apa," ulangnya berkali-kali.

Sejak kecil, Kim Dokja hanya tinggal berdua dengan ibunya. Dia ingat sekali, sewaktu Nenek Lee pindah ke flat di sebelah rumahnya, Nenek itu datang membawa satu tas besar yang berisi dua toples kue kering. Dia memanggangnya secara pribadi. Nenek Lee yang tahu bahwa anak laki-laki tersebut menyukai kuenya akhirnya sering mengirim kudapan ke rumah Kim Dokja. Dia juga senang membelikan Kim Dokja permen atau es krim dan menghadiahkannya buku di hari natal.

Itulah mengapa Nenek Lee sudah dianggap Kim Dokja seperti neneknya sendiri, sedang Lee Sookyung sangat menghormati wanita tua itu yang sering menjaga putranya ketika dirinya sibuk bekerja.

Selang lima belas menit, Lee Sookyung kembali, dia lalu meminta putranya pergi membeli minuman selagi dirinya menemani Nenek Lee menunggu antrean.

Kim Dokja jarang membantah permintaan ibunya jadi dia dengan patuh berdiri. Ibunya menyuruhnya pergi membeli jus yang letak kedainya tak jauh dari rumah sakit. Dengan demikian, dia pun berjalan menyusuri trotoar. Selagi melangkah, tangan pemuda itu bergerak mengetikkan pesan di layar ponselnya.

Dia mengajak Han Yujin keluar bermain. Biasanya di akhir pekan begini terlebih menjelang liburan, Han Yujin akan pergi bersamanya berkeliling. Entah mengunjungi tempat karaoke atau sekadar bermain basket atau sepak bola di lapangan.

Balasan itu datang tak lama kemudian. Isinya permintaan maaf Han Yujin yang tak bisa pergi kemana-mana hari ini.

Kim Dokja tak puas dengan jawabannya jadi dia berganti menelepon pemuda itu.

"Memangnya kau sibuk apa? Ayolah, ini akhir pekan. Kau tidak mungkin ikutan gila kerja seperti Kim Roksu, kan?"

"Dokja, maafkan aku tapi tidak bisa hari ini."

Kening Kim Dokja mengernyit tatkala mendengar nada suara di seberang telepon yang berkesan tidak semangat. Tak biasanya Han Yujin yang selalu gembira menyambut akhir pekan jadi terdengar lemas begini.

"Kau sakit?"

"Tidak, aku baik-baik saja."

"Lalu kenapa? Beri aku alasan yang masuk akal." Kim Dokja enggan menerima keluhan seperti Han Yujin malas bergerak di akhir pekan. "Jangan-jangan karena kau sudah terlalu lama duduk di samping Roksu sampai-sampai energi anti-sosialnya ikut terkontaminasi," tukasnya spontan, separuh bercanda.

Namun, jawaban Han Yujin terdengar semakin tajam. "Kim Dokja, cukup. Tidak semua orang punya waktu luang dan tanpa beban sepertimu."

Langkah Kim Dokja terhenti. "... Apa? Kenapa kau jadi menghakimiku?" Kim Dokja yang kesabarannya terusik menjadi ikut tersinggung. "Memangnya beban apa yang kau punya sampai merasa paling tersakiti begitu?"

Kim Dokja sama sekali tidak bermaksud buruk. Setelah dia melontarkannya, hatinya merasa sedikit bersalah. Dia berencana meralat pertanyaannya saat tanggapan Han Yujin datang lebih cepat.

"Iya, ya. Memangnya beban apa yang kupunya dibanding dirimu? Kau bisa puas bermain, melakukan apa pun yang kau mau tanpa perlu memikirkan bagaimana melanjutkan hidup tanpa orang tua, tak perlu sibuk berpikir harus tinggal di mana lagi atau makan apa besok. Aku punya hak apa untuk menghakimi hidupmu yang sempurna itu?"

"Han Yujin."

"Kau tidak pernah jatuh atau terluka jadi mana mungkin kau mengerti rasanya tersakiti?"

Setelah menyatakan itu, Han Yujin memutuskan sambungan telepon.

Kim Dokja terdiam. Dipandanginya layar ponselnya untuk semenit penuh. Ibu jarinya akhirnya menekan tombol kunci dan layar ponselnya pun akhirnya mati. Kim Dokja bisa melihat pantulan dirinya di layar hitam, gambaran yang membuatnya muak.

Dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Satu embusan napas mengejek lolos dari bibirnya. Dia tidak mengarahkannya pada Han Yujin, melainkan pada dirinya sendiri.

.

.

.

Bersambung.

Setiap orang punya porsi masalahnya masing-masing, hanya karena kita punya beban yang terasa berat tidak berarti kita dapat menganggap beban orang lain tak ada artinya.

Tolong selalu berusaha memahami orang di sekitar kalian dan jangan lontarkan kalimat perendahan sebab kalian tidak tahu pasti apa yang sudah dilaluinya.

[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang