40: Meluruskan

269 66 5
                                    

"Jangan membaca sambil berbaring," tegur Lee Sookyung pada putranya yang merebahkan diri di sofa sambil membalik lembaran novel.

Kim Dokja merengut. "Baik." Dia menarik dirinya bangun lalu berganti duduk bersandar di sofa.

Sekarang hari liburnya tapi ibunya tetap membangunkannya di pagi buta sebab wanita itu membutuhkan bantuan putranya untuk mengganti lampu dapur yang mati. Alhasil, kantuknya dipaksa hilang. Tak ada jadwal kegiatan lain menjadikan Kim Dokja menjatuhkan atensinya pada rak buku.

"Ibu berangkat dulu, kalau kau mau pergi ke luar rumah jangan lupa kabari Ibu." Lee Sookyung yang sudah berpakaian rapi merogoh tas jinjingnya. Wanita itu mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian meletakkannya di atas meja. "Ini uang jajanmu minggu ini, jangan dihabiskan semuanya sekaligus hari ini. Apa lagi dipakai membeli novel. Ibu akan memberimu uang tambahan jika kau mau belanja buku."

Kim Dokja menurunkan buku yang dibacanya setelah dia merasa ibunya sudah selesai menjelaskan. "Aku mengerti, Bu."

Lee Sookyung tersenyum tipis. Wanita itu menghampiri putranya kemudian menjatuhkan satu kecupan di kening pemuda itu. "Ibu sudah masak. Ada makanan di kulkas jadi panasi saja saat kau lapar."

"Terima kasih. Ibu harus bergegas kalau tak mau ketinggalan bus."

Lee Sookyung tak menunda waktu lagi. Diliriknya arloji di pergelangan tangannya lantas buru-buru mengenakan sepatunya. Dia meninggalkan rumah dengan suara debum nyaring dari pintu.

Kim Dokja melanjutkan kegiatan membacanya dengan tenang. Dia sudah hampir tiba di klimaks konflik. Hanya saat membaca buku pemuda itu akan terlihat sangat tenang dan tidak tersentuh, terus menenggelamkan dirinya dalam dunia imajinasi yang terhampar lewat rangkaian tulisan.

Belum sepuluh menit sejak kepergian ibunya, bel pintu rumahnya berbunyi. Kim Dokja dengan berat hati menutup novelnya lantas angkat kaki berdiri, dia bertanya-tanya apa ibunya melupakan sesuatu sampai wanita itu datang kembali?

Asumsi itu menggantung di udara, meletup bagai balon udara yang ditusuk jarum. Tebakannya meleset.

Tidak ada wanita yang melahirkannya berdiri di luar pintu. Seseorang yang tak disangka-sangka justru sedang memandangnya canggung.

"Kenapa kau kemari?" tanya Kim Dokja tanpa basa-basi. Tidak ada nada marah atau nada tenang, dia bertanya murni menuangkan rasa herannya.

Han Yujin yang mengenakan pakaian sederhana mengusap belakang lehernya ragu. "Bisakah aku masuk dulu? Kau tak akan membiarkan tamu berdiri di lorong begini, kan?"

Kim Dokja tidak punya alasan untuk menolak. Dia melebarkan pintu rumahnya memberi akses bagi teman sekelasnya masuk. "Sendal rumah ada di rak sana, ambil sendiri."

Tanpa sungkan, Han Yujin membuka sepatunya dan menggantinya dengan sendal rumah yang disediakan oleh pemilik kediaman. Selanjutnya, dia mengekori langkah Kim Dokja menuju ruang tamu.

"Jadi apa urusanmu?"

Diserang to the point begini agak mengusik Han Yujin. Entah bagaimana, Kim Dokja malah terlihat seperti Kim Roksu sekarang. "Kau bilang aku terpengaruh sikap Roksu, tapi sejujurnya bukan cuma aku saja. Kau sendiri makin mirip seperti dia."

"Katakan lagi itu tapi di depan ibuku, kuyakin dia akan senang jika aku disamakan dengan siswa teladan di sekolah." Kim Dokja menyeringai kecil.

Mendengar balasan tersebut, Han Yujin mencebik. Dia mendesis selama tiga detik sebelum menarik napas dan akhirnya menyatakan niat kedatangannya. "Soal perkataanku tempo hari, kuakui sudah kelewatan. Kau boleh marah padaku."

"Buat apa aku marah padamu?"

Kim Dokja berbalik, dia menuju ke dapur. Saat kembali menemui Han Yujin, pemuda itu sudah menggenggam dua kaleng soda. Dia memberikan salah satunya pada temannya.

"Aku sedikit kesal mendengar nada bicaramu tapi yah tidak ada yang salah dengan apa yang kau katakan, jadi aku tak punya hak marah padamu."

Jawaban itu tidak memberi Han Yujin kelegaan justru lebih banyak rasa bersalah. "Hari itu aku punya banyak pikiran. Benakku benar-benar kalut dan aku—"

"Han Yujin." Kim Dokja mengembuskan napas dan memotong. Obrolan yang terdengar serius begini rasanya tidak cocok untuknya. "Bisakah kita tidak membahasnya lagi?"

"Maafkan aku ...."

"Berhenti minta maaf. Kuanggap mood-mu buruk saat itu. Lain kali aku tidak akan memaksamu atau meminta penjelasanmu lebih jauh." Itulah kesimpulan yang Kim Dokja tarik. "Aku juga salah jadi berhenti menyalahkan dirimu," lanjutnya mendengus.

Kim Dokja meraih kembali novelnya yang belum selesai dibaca. Tanpa kehadiran ibunya, dia berbaring lagi di sofa. Posisi ini adalah yang paling nyaman untuknya.

"Dokja-ah."

"Apa?" sahut Kim Dokja sedikit ogah-ogahan karena dia benar-benar butuh waktu menikmati' dirinya sendiri detik ini.

Han Yujin pergi mendudukkan dirinya di sofa seberang Kim Dokja. Dia meletakkan kaleng sodanya ke atas meja, tidak berniat meminumnya sebab dia belum sarapan.

"Aku menghitung masalahmu denganku sudah selesai dan pertikaianku dengan adikku juga telah beres."

Kim Dokja yang tadinya membagi fokus antara isi novel dan perkataan Han Yujin akhirnya sepenuhnya fokus pada kata-kata Han Yujin meski matanya masih melekat pada buku. "Jadi dia habis bertengkar dengan adiknya?"

Sekarang masuk akal kenapa Han Yujin sewaktu ditelepon punya sikap yang sensitif dan sinis. Manusia dengan sindrom brother complex yang satu ini memang terlalu melekat jika menyangkut saudaranya.

"Tapi aku tidak tahu bagaimana harus menuntaskan masalahku dengan Roksu."

"... Apa?" Kim Dokja menoleh. "Kau juga bertengkar dengan Roksu? Sebenarnya kau itu kenapa? Sampai cari ribut dengan semua orang."

Han Yujin menundukkan wajahnya. Kedua tangannya kini saling ditautkan di atas paha. "Aku tak bermaksud seperti itu ... semuanya terjadi begitu saja."

Kim Dokja akhirnya bangun lagi. Dia melempar bukunya ke atas meja, hilang sudah minatnya menamatkan kisah novel itu. "Katakan padaku, apa kau juga mengatakan sesuatu yang buruk padanya? Ah, tidak. Bahkan jika kau mengutuk di depan wajahnya, aku rasa Roksu tetap tidak akan mengubah ekspresinya."

Di mata Kim Dokja, temannya yang satu itu seperti sebuah patung perunggu atau lebih tepatnya patung emas mengingat dia ternyata bergelimang harta. Intinya, Kim Dokja menganggap orang seperti Kim Roksu tak akan mudah diusik.

"Masalahnya sedikit rumit cuman aku ... aku takut menemuinya," lirih Han Yujin jujur.

Sikap Kim Roksu padanya hari itu memberi kesan yang begitu dalam di hatinya. Moon Hyuna benar tentang satu hal.

"Roksu itu ternyata benar-benar seram kalau marah."

.

.

.

Bersambung.

Han Yujin yang malang, bagaimana aku harus mengatakan padanya kalau Roksu bahkan tidak marah sama sekali padanya?

Kemarahan Kim Roksu tidak sesederhana itu.

Kalau dia marah maka sesuatu yang jauh lebih buruk akan terjadi, jauh dari apa yang Han Yujin atau Kim Dokja mampu bayangkan :)

[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang