Han Yujin mengantar wanita itu hingga ke depan pintu kafe.
Sebelum pulang, wanita itu menoleh sekali lagi lantas bertanya, "Siapa namamu?"
Dia baru akan menjawab 'Han Yujin' sewaktu tersadar dirinya sedang bekerja. Nama yang dirujuk wanita itu pasti nama julukannya. "Sun. Nama saya Sun."
Wanita itu mengangguk kecil kemudian pergi tanpa sepatah kata lain. Han Yujin memandang punggungnya yang ditelan malam. Satu senyuman tipis tergurat di bibirnya. Han Yujin kemudian berencana naik kembali menuju ruang staf untuk meletakkan buku sketsanya sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Woah, jangan berlarian di tangga, Adik Manis," ujar Moon Hyuna yang berpapasan dengannya di ujung tangga lantai tiga.
Han Yujin membungkuk meminta maaf.
"Kenapa bawa-bawa buku?"
Langkah Han Yujin yang sedikit terburu tidak berhenti. Dia kini berjalan mundur di koridor sambil menjawab Moon Hyuna, "Saya habis menggambar untuk seorang tamu," ujarnya sedikit keras akibat jarak yang melebar. "Saya permisi dulu." Dia menunduk sedikit ke arah seniornya itu kemudian memutar langkahnya kembali ke depan.
Namun, saat berputar Han Yujin tidak mengantisipasi seseorang yang hendak berbelok ke arahnya. Tabrakan di antara mereka pun tidak terelakkan.
Han Yujin terkejut, spontan menjatuhkan buku sketsa dan pensilnya. Dia membungkuk lebih dulu sebelum pihak lain menegurnya. "Saya minta maaf, saya sudah ceroboh."
"Bukan masalah, tak perlu membungkuk seperti itu," jawab seorang pria diliputi nada geli.
Keramahan tersebut membuat Han Yujin kembali menegapkan punggungnya. Dia mendongak ke atas dan untuk sesaat terpukau atas apa yang dilihatnya.
"Tinggi sekali!" batinnya dalam hati.
Pria tertinggi yang Han Yujin kenal ialah adik laki-lakinya lalu Kim Roksu. Dia jarang melihat yang lebih tinggi dari dua pemuda itu. Rata-rata temannya pasti setinggi Kim Dokja.
Ini pertama kali baginya menemui secara langsung seorang pria yang bahkan membuatnya harus mengangkat wajah hanya untuk berbagi tatapan.
Pria itu mengenakan mantel merah yang disampirkan di bahunya dan segera menunduk memungut buku yang dijatuhkan pemuda itu. Melihat pemandangan tersebut, Han Yujin tersentak lalu buru-buru memungut pulpennya.
"Sirius! Kau masih belum pergi juga?!" Suara Choi Jung Soo terdengar menggema.
Pria yang memiliki rambut pirang platinum dan sedang menggenggam buku sketsa Han Yujin membalas, "Aku segera ke sana!"
Han Yujin bengong sejenak mendapati pria inilah yang disebut-sebut Sirius. Host pria peringkat satu di kafe ini!
"Jadi ini saingan Kim Roksu?" pikir Han Yujin masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Temannya begitu luar biasa bisa berdiri sejajar dengan pria yang penampilannya saja semengagumkan ini.
Remaja itu tenggelam dalam benaknya sampai tidak sadar jika Sirius sedang membolak-balik lembaran buku sketsanya tanpa izin. "Kau punya gambar yang indah," sanjungnya.
"Itu ... itu bukan apa-apa," kata Han Yujin merebut buku sketsanya akibat malu. Dia memeluk buku itu, menolak agar orang lain melihat gambarannya. Han Yujin sering tidak percaya diri pada kemampuannya sendiri, menurutnya gambarnya sederhana saja. "Saya minta maaf sudah menghambat langkah Anda." Dia menunduk lagi dengan sopan lalu cepat-cepat berlari kecil meninggalkan pria itu.
Sirius memandangi punggung pemuda berwajah asing tersebut. Mulanya dia mengira itu adalah seorang tamu yang tersesat sebab sering terjadi ada tamu naik ke lantai tiga. Namun, pin emas berbentuk kartu tarot yang dikenakannya menyadarkan pria muda itu jika remaja tadi merupakan seorang Host.
"Tak biasanya Manajer menerima orang baru di waktu seperti ini." Begitu pikirnya dalam benak.
Mencegah dirinya diomeli Choi Jung Soo, Sirius kembali melanjutkan langkahnya menuju tangga untuk turun ke lantai dua. Dia memasuki sebuah ruangan yang mana di dalamnya dipenuhi tawa sekelompok wanita.
Justice lekas berdiri melihat kedatangan pria itu. "Sirius-oppa, kau akhirnya di sini! Unnie, kalau begitu aku akan meninggalkan kalian. Berbincanglah dengan nyaman."
Sirius mengurai senyuman ramahnya pada seisi ruangan yang memanggilnya hari ini. Pria itu tanpa diminta mendudukkan dirinya di sebuah sofa tunggal lantas mulai menyapa lembut tiga orang wanita yang datang untuk makan malam sekaligus mencari sedikit hiburan.
~
Kim Dokja merasa kepalanya sesak. Awalnya, dia bisa menjawab beberapa tapi semakin lama Kim Roksu bajingan itu memberinya soal yang lebih sulit sampai kepalanya mulai berdenyut sakit.
Dering ponselnya menggema bagai malaikat penyelamat. Baru kali ini Kim Dokja bersyukur seseorang meneleponnya. "Aku akan mengangkat telepon dulu," ujarnya bangkit berdiri tanpa penundaan, meninggalkan rangkaian rumus yang membuatnya muak.
"Halo, Bu." Kim Dokja duduk di tepi ranjang saat dia menerima panggilan dari ibunya.
Kim Roksu yang sedang bersila di atas karpet sambil mengetikkan terjemahan dokumen mengirim tatapan ke depan, dia bisa mendengar dari jawaban Kim Dokja dan menebak isi percakapan, kurang lebih ibu Kim Dokja bertanya seputar keadaan putranya.
"Iya, aku sudah makan. Tidak, aku tak di rumah. Aku masih menginap di rumah Roksu. Kami em sedang belajar untuk ujian semester," jawab Kim Dokja canggung sebab dia bukan tipikal anak rajin yang peduli pada nilainya sendiri.
Namun, suara ibunya terdengar senang di seberang mengetahui putra tunggalnya meluangkan waktu belajar dengan temannya.
"Baik, aku akan menyampaikannya. Iya, Ibu juga. Jaga diri Ibu. Aku mengerti. Selamat malam."
Kim Dokja menutup sambungan telepon tersebut. Dia mendekati Kim Roksu lalu melempar ponselnya ke atas sofa. Pemuda itu tanpa diminta kembali mendudukkan dirinya di hadapan Kim Roksu. "Ibuku mengirim salam, dia bilang akan membelikanmu oleh-oleh lalu jika ada yang kau inginkan katakan saja."
Kim Roksu menjawab, "Aku tak ingin apa-apa, kuharap beliau pulang dengan selamat. Itu saja."
Mendengar jawaban datarnya, satu dengusan datang dari Kim Dokja. Ada alasan utama dia memilih menginap di rumah Kim Roksu dibanding teman-temannya yang lain. Jika dia mengatakan pada ibunya kalau dirinya sedang bersama Kim Roksu, wanita itu selalu tenang dan tidak banyak bertanya seakan dia sangat mempercayai Kim Roksu lebih dari putra kandungnya sendiri.
Demi mengurangi kecemasan ibunya, Kim Dokja menahan dirinya sendiri dan berusaha menempel lebih lama di sisi pemuda itu meski semua pelajaran ini membuatnya enggan. Bagaimana mungkin dia menikmati ini kalau dia harus terkurung bersama seorang siswa teladan yang isi kepalanya hanya tersedia keteraturan.
"Kalau kau menyelesaikan itu, kita bisa pindah ke pelajaran lain," kata Kim Roksu kemudian.
Kim Dokja mengusap wajahnya frustrasi. Ini benar-benar terasa seperti penyiksaan perlahan untuknya.
.
.
.
Bersambung.
Duo ini makin dilihat main lucu, ya. Kalian aja yang pacaran gimana?
Nggak, aku bercanda. Err Joonghyuk, lebih-lebih lagi Alver ... sumpah nyeremin banget di sini.
Dan, satu tokoh penting lagi akhirnya di sini!
Sisa Yang Mulia Putra Mahkota atau mari kita sebut Tuan Muda Crossman yang belum memunculkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)
FanfictionKim Roksu selalu mempertahankan dirinya dalam batas yang bisa diterima oleh siapa pun, membangun kehidupan yang dianggapnya ideal bagi semua pihak. Akan tetapi, kepulangan Alver Crossman justru menggoyahkan seluruh tatanan sempurna yang sudah dibang...