17: Menginap

384 92 6
                                    

Kim Roksu menyuruh tamunya membilas badan menggunakan air hangat lalu meminjamkan satu pasang piama putih. Tak berselang lama, pintu kamarnya diketuk. Seorang pelayan datang membawa senampan perak yang berisi semangkuk bubur, sepiring buah-buahan, segelas air madu dan obat-obatan yang dipesan Kim Roksu sebelumnya.

Saat Kim Dokja selesai berganti pakaian, dia tak diberi ruang membantah ketika diminta duduk menghabiskan bubur dan minum obat. "Aku sudah makan tadi," keluhnya.

"Kalau begitu minum obatnya saja," balas Kim Roksu membawa langkahnya menuju kamar mandi.

Kim Dokja tahu dia tidak diminta memaksakan diri tapi setelah melihat bubur itu dianggurkan tanpa disentuh, perasaannya jadi tak enak. "Ah, benar-benar."

Pada akhirnya, setelah Kim Roksu ke luar dari kamar mandi mengenakan piyama biru gelap, dia telah melihat mangkuk bubur itu sudah tandas. Pelakunya kini duduk di sofa sibuk memainkan game moba lewat ponselnya. "Sudah minum obat?"

"Belum, perutku tidak punya ruang lagi."

"Aku kira tadi kau belum makan malam jadi kuminta dibuatkan bubur," tukas Kim Roksu mendudukkan diri di sisi pemuda itu. "Minum obatnya nanti saja saat kau mau tidur."

"Mhm." Kim Dokja mengirim gumaman sebagai balasan. Atensinya melekat erat ke layar handphonenya.

Kim Roksu memilih menuju ke meja belajarnya. Dia pergi mengulas pelajarannya hari ini, menyibukkan dirinya sendiri dalam dunianya.

"Dokja-ah, jangan tidur di sofa. Berbaringlah di ranjang," kata Kim Roksu memecah hening setelah puluhan menit berlalu.

Mendengar itu, Kim Dokja tidak menolak sama sekali. Dia bergegas pindah membaringkan dirinya di atas tempat tidur luas temannya. Dia berguling-guling menikmati kasur yang empuk. Setelah lelah, pemuda itu merentangkan tangannya sembari memandang langit-langit kamar yang berwarna abu-abu.

"Roksu-ah."

"Hm?"

"Aku menarik kata-kataku. Yoo Joonghyuk itu tidak menghindariku, dia cuma tak mau berurusan denganku."

"Kenapa begitu?" balas Kim Roksu seraya menambah tulisan rumus di catatannya hari ini.

"Aku rasa dia ... takut padaku."

Tangan Kim Roksu berhenti bergerak. "Memangnya apa yang sudah kau lakukan padanya?" tanyanya menoleh.

Kim Dokja bangkit duduk. Dia angkat bahu. "Aku tak pernah melakukan apa-apa padanya."

"Aku tak habis pikir dengan kalian," gumam Kim Roksu menggeleng. Dia kemudian teringat sesuatu. "Oh, aku ingat. Yoo Joonghyuk pernah bilang padaku, dia tak dekat denganmu karena kau mendadak pindah sekolah."

"Dia bilang begitu?"

Kim Roksu mengangguk. "Aku pernah bertanya karena dia menolak satu kelompok denganmu dulu. Kukira kalian cukup akrab karena dari satu sekolah yang sama ...." Kim Roksu tidak tahu bagaimana cara mengutarakan bahwa dia terkadang menyaksikan bagaimana Yoo Joonghyuk tampak seolah melirik ke arah Kim Dokja. Itu sebabnya, dia berkesimpulan bahwa keduanya mungkin pernah menjadi teman dekat.

Namun, Kim Dokja mendengus halus. Satu dengusan yang berkesan mengejek. "Pindah sekolah?"

Nada itu menarik Kim Roksu untuk memutar kursi beroda yang didudukinya agar memandang ke arah temannya. "Kenapa? Apa dia berbohong padaku?"

Kim Dokja mengukir seringai kala dia menyatakan, "Aku tidak pernah pindah sekolah."

"Jadi Yoo Joonghyuk menipuku?"

Kim Dokja tersenyum dalam. Sebuah senyum yang memberi Kim Roksu perasaan rumit. Disusul satu kalimat lugas yang mengejutkan, "Aku dikeluarkan dari sekolah."

~

Han Yuhyeon mengirim pesan pada kakaknya, menyampaikan jika dia akan menjemput pemuda itu di tempat kerjanya tapi Han Yujin menolak, justru mengabari jika dia yang akan menemui Han Yuhyeon sebab arah rumah teman adiknya satu jalur dekat stasiun.

"Jadi pergi menjemput kakakmu?" tanya Han Donghoon melirik teman sekelasnya. Dia sedang duduk di atas karpet, bersandar di ranjangnya sendiri sambil memangku laptopnya.

Han Yuhyeon kembali merebahkan punggungnya ke tempat tidur Han Donghoon. "Hyung-ku bilang dia yang akan datang ke sini."

Han Donghoon berpikir itu solusi yang lebih masuk akal dibanding Han Yuhyeon yang pergi jauh-jauh menjemput kakaknya. Namun, persetujuan itu lebih dipilih untuk tidak disuarakannya demi menjaga suasana hati temannya.

Han Yuhyeon sendiri sudah berteman dengan Han Donghoon sejak di bangku sekolah dasar. Mereka kebetulan berada di kelas yang sama tiga tahun di SMP sehingga keduanya otomatis menjadi teman dekat. Alhasil, Han Yujin tak pernah merasa khawatir tiap adiknya berkata ingin pergi bermain atau menginap di rumah Han Donghoon.

"Kau akan pergi besok?" tanya Han Donghoon mengubah topik.

"Ke mana?

"Pesta yang diadakan Choi Han. Kau diundang, kan?"

"Ah, benar." Han Yuhyeon hampir lupa itu. "Akan kulihat besok kalau kakakku mengizinkan."

Han Donghoon menggeleng, dikenakannya kembali headphone putihnya. Mustahil Han Yujin melarang adiknya jika Han Yuhyeon berkata ingin pergi menghadiri pesta temannya, kecuali pemuda itu menyebutkan jika pesta temannya diselenggarakan di sebuah bar mewah yang disewa oleh anak di bawah umur.

"Donghoon-ah."

Headphone yang dikenakan Han Donghoon ditarik turun. Pemuda berambut hitam dengan kantung mata gelap mengangkat wajahnya tenang, tidak tampak terganggu walau hatinya jelas sedikit mengeluhkan sikap tamunya.

"Apa?"

"Carikan aku rumah yang sederhana saja dengan dua kamar. Kalau bisa yang tak jauh jaraknya dari sekolah."

"Kau mau beli rumah?"

"Sewa."

Han Donghoon mengernyit. "Kau mampu untuk beli rumah, kenapa tidak sekalian saja?"

Han Yuhyeon sudah dua tahun berkecimpung dalam dunia investasi. Koneksinya juga sangat luas yang mana membuatnya mudah menjangkau kalangan atas. Singkatnya, dia punya cukup uang untuk memberi hidupnya kenyamanan.

"Kakakku belum tahu soal kegiatanku."

"Tinggal diberi tahu. Bukannya kau cemas kakakmu putus sekolah? Dengan begini, dia tidak perlu susah payah lagi." Han Donghoon sungguh tidak bisa memahami alur pikiran teman kecilnya.

"Aku akan mengusik harga dirinya jika aku yang menjadi tulang punggung, setidaknya sampai aku cukup dewasa untuk dia akui, baru akan kulampaui dirinya terang-terangan."

"Kau membuat segalanya menjadi rumit."

Han Yuhyeon tersenyum tipis tidak keberatan menjalani hidup seperti ini. Dia bangkit berdiri sembari mengusap lembut kepala Han Donghoon. "Aku mengandalkanmu."

Han Donghoon mencebik, dia merapikan rambutnya yang dibuat berantakan. Tepat sebelum Han Yuhyeon meninggalkan kamar, suara Han Donghoon berteriak memanggil, "Yuhyeon!"

"Hm?"

Sebuah jaket dilemparkan ke arah pemuda jangkung itu.

"Kenakan itu, di luar dingin."

Han Yuhyeon menerima jaket yang dipinjamkan padanya. "Terima kasih. Aku akan mentraktirmu nanti."

Han Donghoon memasang kembali headphone-nya tak lagi memberi balasan. Han Yuhyeon tak keberatan dengan sikap apatis itu, dia pun beranjak pergi dengan segaris senyuman yang bertahan di bibir untuk waktu yang lama.

.

.

.

Bersambung.

:)

[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang