Kalau tatapan bisa membunuh seseorang, Kim Roksu sudah dipastikan meregang nyawa di bawah pandangan tajam teman semejanya.
"Hentikan." Kim Roksu mengulurkan tangan, menutupi wajah Han Yujin menggunakan telapak tangannya. Didorongnya wajah pemuda itu menjauh.
Han Yujin memberontak. "Sialan, Roksu! Katakan padaku sejak kapan kau berkhianat?"
Kim Roksu mengembuskan napas lelah. "Kalau aku berkhianat, kau tidak akan duduk di sini lagi." Dia sudah pasti menendang pemuda bak perangko yang hobinya menempel padanya.
"Ini tidak adil!"
"Sejak kapan dunia ini adil memangnya?" desah Kim Roksu menarik tangannya seusai memastikan Han Yujin tak lagi merapatkan wajah di dekat pipinya.
"Tetap saja! Bagaimana bisa kau yang tidak punya sejarah pacaran dan selalu cuek pada semua gadis—astaga aku masih tidak percaya ini." Han Yujin menatap berlebihan separuh dengki pada meja Kim Roksu yang berhamburan bungkusan coklat, membentuk kontras yang besar dengan meja Han Yujin yang polos tanpa satu pun coklat valentine untuknya.
Belum selesai Han Yujin meratapi nasibnya, seseorang menimpali santai, "Apa yang tidak bisa dipercaya?" Derit kursi yang ditarik Kim Dokja bergema menyela.
Dia duduk tepat di kursi depan Han Yujin. Kim Dokja meletakkan tas sekolahnya ke atas meja lantas dia mengambil posisi duduk menghadap ke arah belakang. Dua tangannya kini sibuk membuka bungkusan sebuah kotak coklat merek ternama.
Mata Han Yujin melotot menyaksikan kegiatan Kim Dokja.
Memang sulit dipercaya seorang Kim Roksu yang cuek bisa punya beberapa penggemar. Namun, kenyataan itu masih bisa sedikit diterima jika mengingat kalau nama pemuda itu selalu duduk di peringkat pertama seangkatan. Menyangkut nilai akademis, Kim Roksu hampir tidak punya tandingan. Tentunya, itu berbeda jika membandingkannya dengan Kim Dokja.
Han Yujin lebih tidak terima bahwa sosok Kim Dokja yang kehadirannya tak pernah mencolok bak setipis angin lalu, belum lagi menurut Han Yujin, prestasi serta tampang Kim Dokja pun termasuk rata-rata. Namun, siapa sangka dia bisa menggaet seorang gadis yang rela memberinya coklat di hari valentine?
Ini seperti pukulan telak.
Kekalahan sempurna.
"Ada apa dengannya?" tanya Kim Dokja heran melihat Han Yujin pergi pundung ke sudut kelas seperti jamur kecil.
"K.O," jawab Kim Roksu datar tanpa empati.
Alih-alih peduli pada suasana hati suram Han Yujin, Kim Dokja menyodorkan coklatnya ke arah Kim Roksu. "Mau?"
Dengan begitu, dua orang yang merasa tak punya kewajiban menenangkan luka serius di hati temannya kini sibuk berbagi coklat sambil mengobrol tentang buku terbitan baru dari seorang penulis yang mereka nantikan.
"Aku sempat lihat kemarin, bukunya sudah ada di toko buku dekat stasiun," ujar Kim Dokja mengabari. "Mau pergi pulang sekolah nanti?"
Kim Roksu menggeleng. "Aku ada pekerjaan paruh waktu."
"Kalau begitu lain kali saja kita pergi saat kau sudah senggang."
Han Yujin yang diam-diam mendengarkan obrolan kedua temannya merasa sakit hati karena tidak diajak. Dia benar-benar diabaikan. Rasanya sungguh terluka, lebih menyedihkan dibanding tidak kebagian coklat.
Pemuda itu telah merangkai setumpuk keluhan ketika di atas pahanya dijatuhi sebuah bungkusan snack. Han Yujin spontan mendongak, tidak ada siapa-siapa. Dia kemudian menoleh ke belakang, mengunci punggung Kim Roksu yang sedang sibuk menyapukan seluruh coklat di atas mejanya ke dalam tas.
"Berhenti merajuk, kelas periode pertama ada kuis bahasa Inggris. Lebih baik kau pergi menghapal," tutur Kim Roksu datar.
Pandangan Han Yujin lalu menunduk kembali menatap merek snack berupa wafer rasa coklat yang diingatnya biasa dibeli Kim Roksu saat berkunjung ke minimarket.
Kim Dokja yang masih duduk memunggungi papan tulis kini melempar senyuman pada Han Yujin. "Kalau kau tidak mau, berikan padaku," ujarnya memandang wafer di tangan Han Yujin penuh minat.
"Enak saja, ini punyaku!"
Han Yujin tidak mendapat coklat dari satu pun gadis di sekolah tapi rasa wafer coklat yang dikunyahnya hari itu lebih menggugah dibanding berbagai merek coklat yang sudah pernah dicobanya selama ini. Hatinya yang semula disesaki protes sekarang telah luluh kembali.
Diam-diam Kim Roksu meliriknya tak habis pikir, teman semejanya benar-benar seperti anjing kecil yang terlalu mudah dijinakkan.
Di satu sisi, saat jam istirahat, Kim Roksu sempat melempar tanya pada Kim Dokja, "Coklat tadi pagi kau pungut di mana?"
Kim Dokja mendesis mendengar pertanyaan tersebut. Han Yujin mudah salah paham tapi Kim Roksu tidak bisa ditipu sama sekali. "Seorang gadis dari kelas sebelah menitipkannya padaku untuk diberi ke Yoo Joonghyuk tapi pemuda dingin itu bahkan tak melirik sedikit pun ke arahku." Bukan sekali atau dua kali dia diabaikan orang lain membuat Kim Dokja angkat bahu tak peduli. "Karena dia tidak mau jadi kumakan saja."
Menurutnya, sayang sekali coklat semahal itu dibuang sia-sia.
Kim Roksu mengangguk, sepakat kalau tindakan temannya sudah benar.
Kim Dokja lalu dengan serius berkata, "Coklatnya memang enak tapi kuharap aku tidak disuruh berurusan lagi dengannya. Kesabaranku yang seluas bukit ini rasanya menyusut tinggal sepetak kecil yang hanya cukup ditanami satu semak rumput liar."
Kim Roksu terkekeh mendengar keluhan temannya. "Sejujurnya, dia tidak terlalu buruk. Aku pernah satu kelompok dengannya, dia cukup kooperatif saat diajak diskusi."
"Inilah yang kita sebut kesenjangan status," gumam Kim Dokja mengembuskan napas panjang. Siswa rata-rata sepertinya pasti dipandang tak ubahnya seperti kerikil.
Membayangkan seorang Yoo Joonghyuk bersikap baik padanya seakan meminta Kim Dokja merobek novel favoritnya yang mana artinya sangat-sangat mustahil.
Sayangnya, ada ungkapan yang menyebutkan semakin kau menghindari sesuatu maka semakin mudah pula hal itu menyambangi langkahmu.
.
.
.
Bersambung.
Ini hanya fanfiksi singkat yang per-bab diharapkan tidak lebih dari 1000 kata. Jangan diambil serius apalagi ngeluh, "Kak, kok pendek banget?" Karena yang ini khusus kubuat untuk hiburan pribadiku.
Hitung saja kalian sedang mengunyah cemilan di waktu senggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Youth (Crossover Holy Trinity)
FanfictionKim Roksu selalu mempertahankan dirinya dalam batas yang bisa diterima oleh siapa pun, membangun kehidupan yang dianggapnya ideal bagi semua pihak. Akan tetapi, kepulangan Alver Crossman justru menggoyahkan seluruh tatanan sempurna yang sudah dibang...