42. Dewa-dewa pencetus

271 42 0
                                    

ORACLE
Lazy_Monkey

|||

Vote & komen

-----------------------------🌹-----------------------------

Ps : Dua part digabung. Ada perbaikan.

Visualisasi inti gift dll, berada dibawah.



















“Apa itu bagus?”

Jennie menolehkan kepala dari pemandangan di seberang jendela, kereta yang mereka tumpangi melaju meninggalkan kota Harver. Mengambil sodoran air mineral dari Seulgi yang kini mengambil duduk tepat di depannya. Jennie menatap gadis itu sejenak sebelum kembali mengalihkan tatapan ke arah jendela kereta. Ini mungkin menjadi perjalanan transportasi umum paling aman, satu gerbong kereta telah disewa hanya untuk mereka saja. Banyak kursi kosong disekitar, Wendy, Rosie, Kim Jisoo dan Irene Bae tengah bermain kartu uno. Sementara disisi ujung gerbong, Tiffany dan Taeyeon terlihat begitu serius dengan ponsel mereka. Dua orang itu akan menjadi penanggung jawab perjalanan ini. Mereka juga yang akan mengurus semua hal termasuk, menghubungi pihak universitas Islar Bay untuk menjemput mereka di stasiun ketika tiba.

“Ya, pemandangannya cukup bagus.”

“Melihat pemandangan diluar terus-menerus akan membuatmu cepat bosan.” Seulgi mengambil tas kecil diatas lorong penyimpanan barang-barang. Mengeluarkan sebuah buku sketsa serta beberapa pensil mewarnai. “Mengapa tidak mencoba untuk membuat sesuatu?”

Jennie menghela napas. “Kali ini aku tengah malas untuk melakukan sesuatu, termasuk menggambar.” Namun, begitu. Jennie tetap mengambil buku sketsa yang disodorkan Seulgi. “Tapi, terima kasih. Mungkin nanti, jika aku sudah tidak malas lagi, aku akan menggunakan buku sketsa ini..” lanjutnya sambil memaksakan senyum.

“Kamu tidak perlu berpura-pura tersenyum jika kamu sedang tidak senang. Kamu masih memikirkan keadaan Lalisa.” Karena mereka hanya berdua dan karena yang lain tengah sibuk di dunia sendiri terkecuali, Eugene yang duduk di pojok lorong kanan. Seorang diri. Eugene tak berani mendekati Jennie namun, tak ingin pula pemandangan indah tersebut hilang. Jadi, yang dia lakukan hanyalah mengamati dari kejauhan. Seolah tatapan matanya tidak mengganggu.

Karena tak ada jawaban Seulgi kembali berkata, “Itu mungkin tidak akan lama, Lalisa terlalu kuat. Dia pasti baik-baik saja.”

Bulu mata Jennie gemetar, genggaman tangannya mengerat pada buku sketsa yang diberikan Seulgi. Sembari menatap pemandangan di jendela kaca kereta, Jennie balas menjawab, “Aku tidak pernah ingin dia mencapai tingkatan apapun. Terlalu berbahaya dan aku khawatir.” Jennie menggigit bibir menoleh pada Seulgi.

Gadis itu bergerak mendekat, menepuk kepala Jennie seolah dirinya anak kecil. Tapi, mungkin. Jennie memang membutuhkan ini. Berbicara dengan seseorang, sedikit membantu menghilangkan kekhawatiran.

“Tampaknya, Oracle kami begitu terganggu karena ramalan Oracle sebelumnya.” kata Seulgi sedikit menggoda. “Bukankah, kamu telah berjanji pada kami, kamu akan memastikan tak akan ada kematian di masa depan? Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, Lalisa bahkan belum mencapai puncak inti.”

“Aku sedang memikirkan caranya.” Jennie menghela napas, menyenderkan punggung pada kursi kereta yang padat dan keras. “Banyak cara...” Kedua tangannya terangkat ke udara. “Tapi, semuanya akan menghilang secara tiba-tiba di dalam kepalaku seperti tisu yang terkena air. Semua ide yang kupikirkan bisa dipatahkan. Para tetua mengatakan apapun caranya, tidak akan mungkin untuk mengganti inti dengan cangkang kosong yang telah tersebar. Aku takut, hingga waktunya tiba. Kita bahkan belum melakukan apa-apa.”

ORACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang