46. Pusat aura buruk

201 42 0
                                    

ORACLE
Lazy_Monkey

|||

Vote & komen

-----------------------------🌹-----------------------------


















“Terima kasih karena sudah menerima undangan kami, Oracle.”

Ruangan ketua yayasan Universitas Hedwig begitu luas serta berkelas. Membandingkan dengan ruangan milik paman Marco yang sederhana, Jennie mulai menyadari bahwa si ketua yayasan satu ini begitu menyukai kemewahan. Dia membuat ruangan tersebut seperti rumah pribadi, berlapiskan kaca tebal sebagai dinding, terbagi dalam beberapa kubikel. Yang lebih luas berisi meja kerja serta sofa kulit mahal berwarna merah terang, dia juga menempatkan meja panjang untuk rapat berisi beberapa kursi. Kubikel yang lebih kecil, tersambung dengan dapur mini. Meja sekretarisnya tak jauh disana, tipikal atasan yang tampaknya tak menyukai pekerjaan lambat.

“Bagaimana aku bisa menolak? Anda mengirim undangan dengan sopan, Tuan Hedwig.” balas Jennie sambil menyesap secangkir teh.

Sebuah papan nama berlapiskan emas terpampang di meja besar tepat di pusat ruangan, bertuliskan nama Choir Hedwig. Paman Marco memang belum pernah menyebutkan nama orang ini, dia hanya membicarakan tentang Teya Regaz, si pemimpin kuil dari Islar Bay yang katanya memperkenalkan diri sebagai seseorang yang mampu melihat masa depan di media.

Namun, Jennie tak menyangka. Bahwasannya Choir Hedwig cukup berani memulai masalah dengannya, pria tua berambut putih dengan wajah bersih tanpa janggut itu, juga mengundang orang lain. Seseorang yang bagi Jennie, bukanlah sebuah keharusan baginya untuk bertemu. Jennie menduga-duga apa yang tengah dimainkan mereka, sedari awal mereka datang, hingga masuk kemari. Hawa disekitar semakin terasa pekat.

Para penjaganya berada disekitar, dengan patuh berdiri tak jauh dari sana. Jennie ingin mereka duduk tapi, beberapa pria dihadapannya saat ini seolah dengan berani membuat aturan di depan Jennie, membuat batasan siapa yang pantas dan tidak. Jennie masih menahan diri, karena dirinya hanyalah seorang tamu.

“Katanya, orang-orang di pasar begitu antusias menyambut Anda.”

“Ya, itu cukup memuaskan. Mungkin lain kali, mereka dapat membuatkan diriku sebuah patung besar dengan gambar wajahku untuk dipajang di pusat kota Islar.” Menjawab dengan nada tidak tertarik, atensi Jennie masih tertuju pada teh polong. Satu hal yang bagus, orang-orang ini menyiapkan minuman kesukaannya. Jadi, Jennie tidak bisa terlalu marah atas keberanian mereka.

Suara deheman tak nyaman terdengar namun, Jennie masih tidak peduli. Dia memberi tingkah seolah hanya ada dirinya sendiri disana, serta si ketua yayasan Hedwig. Dua orang pria yang duduk dihadapannya, tak dipandang sama sekali. Itu bukan karena Jennie tidak mau berbicara tetapi, mereka. Mereka menunggu untuk disapa lebih dulu sedari awal Jennie memasuki ruangan ini.

Lalu, siapa mereka yang berhak mendapatkan rasa hormat dari seorang Oracle?

Para penjaganya tak bisa menahan senyum di tempat. Menyadari bahwa Jennie tengah bermain keras.

Sudut bibir Choir Hedwig berkedut. “Itu, satu hal yang luar biasa. Apakah Anda memperbolehkan kami melakukan ini?”

Jennie mengangkat kepalanya sejenak, menatap Hedwig. Caranya menatap sama sekali terkesan biasa namun, karena tatapan tersebut. Hedwig serta-merta menundukkan kepala. Pengaruh seorang Oracle seperti Ratu. Dalam setiap gerakan, tarikan napas serta tatapan, seolah seluruh kehidupan berpusat padanya. Itu adalah kekuatan serta daya tarik mereka, para wanita-wanita terpilih.

ORACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang