38. Siapa gadis itu?

238 48 0
                                    

ORACLE
Lazy_Monkey

|||

Vote & komen


------------------------------🌹----------------------------

















Lalisa memilih untuk pergi keluar dari kantin. Dia tidak berkata akan menghampiri Jennie namun, hatinya memang ingin menghampiri gadis itu. Selain karena Lalisa merasa malu diolok-olok teman-temannya, Lalisa juga merasa sakit hati saat Jennie berkata hanya akan membicarakan hal penting pada yang lain, tidak termasuk dirinya yang mungkin saja telah dibuang dari dalam kelompok penjaga.

Melewati lapangan besar menuju asrama, pikiran Lalisa terbagi. Mengingat ramalan yang mereka bahas, lalu ikatannya dengan Jennie yang ternyata bahkan lebih dari yang dia pikirkan. Lalisa merasa tidak layak, itu benar. Kepercayaan dirinya hilang seolah ini kali pertama harga dirinya dipijak begitu banyak. Lalisa Manoban adalah seseorang yang selalu memiliki segalanya.

Dia dicintai, dia selalu dilayani, keluarganya selalu membanggakan Lalisa sebagai putri terpilih. Lalisa tidak pernah berpikir bahwa hidupnya yang hebat ini, dapat ada karena seseorang. Seseorang yang seharusnya ia lihat sedari dulu. Seseorang yang seharusnya menjadi cinta sampai mati Lalisa Manoban. Perasaan yang datang begitu abu-abu. Antara senang, bimbang dan tidak percaya diri. Lalisa merasa kecil dan tak layak untuk Jennie. Bagaimana Lalisa harus menjelaskan? Itu seperti harga dirinya terluka karena tidak cukup pantas untuk Jennie namun, jauh di lubuk hatinya juga, Lalisa ingin dia bisa lebih dekat dan dekat dengan belahan jiwanya.

Lalisa menghela napas frustasi, melangkah dengan gontai berniat mencari Jennie di dalam asrama. Sampai di pertengahan lapangan yang sebagian pencahayaannya cukup gelap, kedua langkah kaki Lalisa terhenti. Matanya menyipit untuk menyempurnakan penglihatan, di seberang antara lapangan dekat gerbang, Lalisa melihat sosok Jennie berdiri dekat pepohonan.

Lalisa melangkah lebih cepat untuk menghampiri Jennie, mengabaikan detak jantungnya yang memompa dengan keras sambil merangkai kata-kata manis untuk membujuk gadis itu. Namun, suara seseorang terdengar. Itu cukup jelas karena lapangan yang sunyi, dan karena pendengaran Lalisa cukup tajam. Dia dapat mendengar suara seorang gadis lain yang berada disekitaran Jennie.

“Aku putri bungsunya.” Suara yang tak asing terdengar. Lalisa mengingat-ingat suara ini namun, dia lupa itu siapa.

“Pantas saja saat pertama melihatmu aku merasa tidak asing.” kata Jennie.

“Hm, ya. Itu bukan karena kamu baru melihatku. Kita pernah bertemu beberapa kali sebelum ini.” kata gadis itu.

“Hah, kapan?”

“Kamu pasti tidak akan pernah mengingatnya, karena mungkin aku tidak pernah begitu penting.”

“Apa maksudmu?”

“Orrien Street, pasar galeri pinggir jalan paling pojok, kamu selalu membuka lapak tiap dua minggu sekali disana untuk menjual lukisan.”

Lalisa dapat melihat tubuh Jennie yang tersentak serta reaksinya yang kini berubah semangat. “Tunggu, kamu. Kamu gadis dengan topi koboi serta kacamata capung aneh itu?”

Gadis itu tertawa, tubuhnya tersembunyi oleh batang pohon. Lalisa tidak bisa melihat wajah orang ini. “Ya, topi koboi dan kacamata capung sangat berguna untuk melindungi diri dari pandangan orang-orang. Hanya kamu yang tidak peduli dengan keanehan ini.”

Jennie menggeleng. “Sejujurnya itu sangat aneh sampai-sampai aku tidak berani berkata aneh. Kamu begitu percaya diri dan aku suka melihat gayamu yang lucu. Kamu terus membeli lukisanku tapi, kamu menghilang setelahnya.” Dia menghela napas. “Maaf, seharusnya aku mengingatmu dengan baik.” Wajah Jennie memerah, meski gelap. Ronanya masih dapat jelas Lalisa lihat. Kini kilatan mata Lalisa yang lemah berubah menjadi cemburu.

ORACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang