6. Pulang

1.2K 72 1
                                    

"Hanya angan yang menjadi mimpi semata."
.
.
.
.
🦋🦋

Sosoknya pernah bertanya. Bagaimana rasanya bisa terbang bebas. Dalam arti, hidup tanpa belenggu lara. Tidak ada aturan yang menjadi alasan kuat tetap diam.

Mata bulat gelap dengan kelabu yang dirinya simpan. Hatinya hangat, namun pekat. Mimpinya tetap sama. Kehidupan.

.
.
.

"Dokter, Kana mau hidup."

.
.
.

"Dek, kamu kebangun?"

Sorot kosongnya tak teralih. Bibir tipisnya menghisap benda kesayangannya lembut. Larut dalam lamunannya. Hingga surainya yang dibelai ia menatap sang pelaku.

Arka menatap lembut. Khawatir, ada yang dirasakan Luka tapi tidak dikatakan. Ini masih tengah malam. Dan anak itu terbangun saat ia baru saja keluar kamar mandi.

Ia dan kedua sahabatnya menunggu dikamar inapnya. Besok baru boleh pulang karena harus melihat kembali kondisi Luka yang bisa kapan saja turun.

"Ada yang sakit?" Luka menggeleng pelan. "Tidur ya? Masih malam."

Facifiernya ia lepas, langsung tergantung ke bajunya. Ia lalu menggeleng. "Mau nonton."

Arka menatap bingung. "Udah malam banget ini. Nanti kamu sakit lagi, banyak istirahatnya."

"Aku mau nonton, sebentar." Mohonnya.

"Lima menit?"

Pemuda yang lebih kecil itu mengangguk. Arka berjalan mengambil ponselnya dimeja dekat Rafael tidur. Ada Raden yang juga tidur disofa panjang.

Ia lalu mendekat, duduk diatas ranjang. Membawa adiknya untuk bersandar kedadanya. Ia letakkan ponselnya dipangkuannya. Dibiarkan anak itu memilih apa yang dia mau.

"Kebangun?" Suara serak berat yang terdengar. Kedua saudara itu menoleh. Melihat Raden yang sudah duduk.

"Iya, minta nonton bentar. Habis itu tidur ya?" Tanyanya pada Luka. Yang dibalas anggukan.

Raden bangkit, pergi menuju kamar mandi. Meninggalkan keduanya yang hening. Hanya terdengar suara dari ponsel Arka.

Kartun anak dari negeri seberang. Gadis cilik dengan baju pink khasnya. Bersama beruang coklat yang selalu ia jahili. Film kesukaan Lukana.

Arka tak ikut melihat. Ia malah fokus pacifier baru yang tergantung. Lalu melihatnya. "Dari Om Damian Ya?"

Dibalas anggukan saja. Arka jelas menggeleng. Pria itu selalu saja. Bukan sembarang ia memberi. Dari kecil barang kesukaan Luka memang paling terjaga, kualitasnya. Maka dari itu mereka juga tidak bisa membeli yang sembarang juga.

Dimasukkan benda itu kemulut adiknya yang terbuka kecil. Fokus pada kartun itu. Ia terkekeh gemas. Namun tanpa melepas benda itu, bibirnya justru bernyanyi. Mengikuti lagu yang ada.

"Tak ustroeno, chto deti.. vyrastajut.."

"Vremja nastupaet.. i togda.."

SILENTIUM || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang