"Satu keyakinan, pilihan dari sebuah takdir."
.
.
.
.
🥀🥀Biarkan dia memilih kali ini. Apakah salah sekarang dia berharap besar?
Sosok yang terus menjadi alasan dia mau melangkah. Orang mengatakan, ikhlaskan dan akan ada sesuatu yang menggantikan lebih baik.
Tapi, bagi dirinya tidak ada yang lebih baik dari sosoknya. Katakan saja dia egois. Namun, apa setelah melepaskan kini dia tetap egois?
Manik bulat gelap yang nampak bersinar cerah. Bagai malam yang penuh akan bintang. Tatapannya, kembali hidup. Bibir tipisnya mungilnya membantuk lengkungan indah. Memperlihatkan dua gigi kelinci yang lucu.
"Kakak."
Sungguh, dia sangat ingin datang. Namun, apa batasan itu masih ada?
Arka melirik pemuda yang nampak acuh saja dengan wajah datar. Namun, tubuhnya lalu di dorong seseorang.
"Udah sana," Rafael berkata dengan senyuman.
Dengan langkah ragu dia mendekat. Sosok yang lebih pendek darinya, padahal dia cukup tumbuh. Namun, masih tetap pada batas yang sama. Dia bangkit dari duduknya, berjalan mendekat.
Tidak ada yang bisa Arka katakan. Sosok yang dia rindukan, ia rengkuh dengan erat. Menenggelamkan wajahnya pada lehernya. Harum bayi dan vanila yang tidak pernah berubah. Aroma tubuh yang rasanya telah dia lupakan, tapi dia rindukan. Tubuh mungil yang begitu pas dalam pelukannya.
Hatinya terasa terbakar, segalanya memuncak. Tangisnya sebagai jalan.
Dulu, sekali pun pelukan nya tak terbalas. Bahkan terakhir kalinya pun tidak. Namun sekarang, tangan lembut itu membalas pelukannya.
Isaknya semakin keras, bahunya bergetar. Membuat tangan lembut sang adik menepuknya pelan.
"Ingus Lo bawa penyakit." Suara datar memecah suasana haru.
Kana menyembulkan kepalanya dibalik pelukan. Melihat lelaki muda yang kini duduk begitu tenang. Kedua alisnya bertemu, bersama bibirnya yang mengerucut.
Wajah imut itu, siapa yang tahan?
Derlan akan berteriak dengan keras. Logan.
Nyatanya kini hanya menatap tajam. Seolah memperingati.
Arka jelas sadar karena berbuat salah. Dengan cepat dia melepas pelukan. Menyekat air matanya, walau begitu dia tetap tersenyum lembut.
"Maaf ya?" Ah, dia resah. Akan kah adiknya marah kembali.
Namun, sosok itu menggeleng pelan. "Gapapa, Abang cuma khawatir aja kok." Sesaat dia melirik Logan yang setia menatap datar.
Buru-buru Arka melihat ke arah meja. Meraih tisu yang ada, mengelap bagian yang masih basah sedikit.
"Ayo ganti baju."
Kana menggeleng, dia mengambil alih tisu tersebut. Lalu menguap bekas air mata di kedua pipi Arka.
"Gapapa."
"Lu, jangan ngerusak suasana napa Gan." Derlan menyenggol lengan sahabatnya itu. Namun hanya dibalas lirikan tajam.
"Duduk kalian," Raja membuka suara. Memeluk bagian sofa yang kosong di sebelahnya.
Kana mengangguk, menarik lengan Arka segara. Membawanya duduk di sebelah Raja. Tepat dirinya berada ditengah keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENTIUM || End✓
Teen FictionLuka, seperti namanya. Begitu banyak luka dalam dirinya. Tanpa ada orang yang tau, seberapa dalam laranya. "Mereka yang mengabaikan ku. Lebih baik aku pergi tanpa harapan." {Sequel IMPERIUM}✓ 🦋🦋 [BELUM REVISI!] #PLAGIAT DILARANG MENDEKAT!! #Karya...