"Titik terendah dari segala rasa sakit adalah kehampaan."
.
.
.
.
🦋🦋Malam yang sunyi. Ditemani oleh bulan yang bersembunyi dibalik awan. Hembusan angin dingin yang menjadi tanda hujan akan turun.
Sosok yang menatap gelapnya langit dengan pekat. Berdiri sendiri dibalkon kamarnya. Hembusan angin membuat surainya menari lembut. Wajah putih pucat dengan bibir tipis berwarna pink alami.
Genggaman pada pembatas balkon mengeras. Nafasnya terdengar terhenti sesaat. Lalu membuang kasar.
Ia lalu memilih masuk kedalam kamar. Tak lupa menutup pintu balkonnya. Berjalan menuju meja belajar. Mencari kotak putih yang ia simpan dilaci.
Ada beberapa jenis kapsul obat. Ia mengambil dua jenis satu butirannya. Lalu keluar dari kamarnya menuju dapur. Mengambil segelas air dan meminumnya dengan tenang.
'Tok.. Tok..
Bunyi ketukan pintu membuatnya menatap jam diatas televisi. Pukul sembilan malam. Bertanya siapa yang bertamu.
Luka melihat pintu yang kembali diketuk. Memutuskan melihat siapa yang datang. Ia mendekat dengan membawa gelas kosongnya. Menjadi senjata, takut-takut orang jahat.
Dengan pelan ia memutar kuncinya. Lalu memutar kenop pintu perlahan.
Tepat saat pintu terbuka sedikit. Seseorang dari luar mendorong kasar masuk. Ia sangat terkejut, tidak bisa bereaksi banyak. Apalagi tubuhnya yang diterjang. Masuk dalam dekapan erat.
Pupilnya membesar melihat kearah pintu yang terbuka sepenuhnya. Ada dua orang pemuda yang berdiri dengan santai.
'Pyarr
Gelas yang ia pegang terjatuh. Pecahan hampir mengenai kakinya. Namun sosok yang memeluknya bereaksi cepat. Mengangkat tubuhnya, membawa pada sofa.
Bibirnya terkatup rapat saat tubuhnya didudukkan paksa pada sofa. Sosok itu cepat berjongkok dihadapannya. Melihat kakinya, apakah ada yang terluka.
"Kaget gua." Ujar salah satu pemuda yang ikut masuk. Setelah menutup pintu, ia berjalan menuju sisi kanan pintu. Tempat penyimpanan. Mengambil sapu kecil. Lalu membersihkan pecahan kaca dengan santai.
Sosok pemuda lain berwajah dingin yang ikut, mengambil duduk pada kursi meja makan. Menatap bagaimana dua orang yang kini saling diam menatap. Ia pun menggeleng lirih.
"Ada yang sakit?" Tanya sosok yang masih setia berjongkok itu. Matanya menatap tajam, namun nada bicaranya lembut penuh khawatir.
Luka memalingkan padangan. Enggan menatap juga tak bicara.
"Adek Luka, hati-hati ya? Abang mah gak takut jantungan. Takut kamu luka aja." Sosok yang lewat sambil membawa sampah pecahan kaca. Ia membuangnya pada tempat sampah didekat televisi. Entahlah, hanya tempat itu yang dia lihat.
Rafael tersenyum manis setelah tugasnya selesai. Ia lalu pergi ke dapur, melihat makanan apa saja yang tersedia dikulkas.
Ketiganya datang kesini karena permintaan paksa satu orang itu. Arka, yang sudah hampir gila karena adiknya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/367330497-288-k521605.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENTIUM || End✓
Novela JuvenilLuka, seperti namanya. Ia adalah simbol dari kesakitan yang tak terlihat, menyimpan begitu banyak luka yang tak pernah bisa diungkapkan. Tidak ada yang tahu seberapa dalam lara nya, seberapa berat langkahnya menjalani hidup. "Mereka yang mengabaikan...