"Lewati batas yang diri mu buat. Jangan jadikan rasa takut mu menjadi penghalang."
.
.
.
.
🦋🦋Dirinya mungkin dikatakan sosok yang kuat. Dengan perjuangan hingga bisa sampai dititik ini. Perlahan menuju mimpi. Acuh pada segala rasa sakit. Asalkan dirinya bisa bebas.
Namun, rasa takut akan kegagalan masih terus menghantuinya. Luka dari orang terdekat yang selalu membawanya. Dimana ia bisa jatuh dalam jurang terdalam dihatinya sendiri.
"Lo cowok, gitu aja lemah."
"Diam Lo, Gan!"
Lukana, yang kini menangis ketakutan dengan segala pikiran buruk yang dirinya miliki. Meratapi nasibnya dimasa depan yang begitu buruk. Bayangan ia yang tidak akan bisa menjelajahi bumi sirna.
"Udah, kata dokter gapapa. Asalnya rajin diobati." Raden yang memeluknya setia memberi ketenangan. Mengelus belakang kepalanya lembut. Sesaat melirik Logan yang duduk dengan acuh.
Ulah siapa ini, yang repot juga siapa. Logan memang gila. Entah apa otaknya itu. Bukan malah memberi ketenangan, ia malah semakin menakuti.
"Lo tenang aja, kalau gak bisa jalan nanti gua gendong. Simpel."
Derlan langsung saja memukul bahu Logan keras. Mendapatkan tatapan tajam dari tiga orang Logan acuh. Beralih pada ponselnya. Membuat mereka mendengus kasar.
"Sakit Dek?" Rafael mendekat pelan. Mengusap pergelangan kaki Luka yang juga ikut dililit perban. Namun pemuda itu tersentak akan sentuhannya.
"Jangan.. nanti Kana gak bisa jalan." Menatap takut sosok Rafael bagai bukan manusia baik.
"Kakak cuma tanya, sakit gak?" Sabarkan dirinya. Jangan seperti Logan.
Luka dengan pelan mengangguk. Sudah tidak menangis, namun nafasnya tersengal. Mata sembab dengan hidung yang memerah. Raden rasakan dia mulai demam.
"Diobatin lagi ya? Kata dokter harus rajin diobati. Abis itu tidur," kata Rafael lembut. Menyentuh kembali pergelangan kaki Luka. Namun kali ini pemuda itu diam.
"Iya." Balas Luka cepat. Dia memang tidak takut rasa sakit. Hanya takut kemungkinan terburuk setelahnya. Bisa jadi mungkin kakinya sembuh, namun harus diamputasi. Kan tidak baik.
Derlan pergi ke kamar mandi mengambil handuk dan air hangat. Rafael sudah menarik kotak obat. Membawanya kedekat kaki Luka. Raden menyembunyikan wajah Luka didadanya. Takut Luka semakin menangis melihatnya. Logan sendiri hanya melihat mereka.
Rafael mulai membuka perban yang dengan bercak darah itu. Memang masih perban ke dua setelah dokter memberikan. Mungkin masih berdarah.
Ia mulai membersihkan dengan air hangat kembali. Mengelap lembut dengan handuk basah. Sesaat Luka menarik kakinya karena merasa sakit. Membuat Derlan harus menahannya.
"Kalau sakit bilang, jangan ditahan." Kata Raden lirih. Mengusap punggung Luka pelan. Semakin memeluk erat kala pemuda itu tersentak.
Rafael dan Derlan yang fokus saja. Agar lebih cepat. Tak tega dengan Luka yang menahan sakit. Mereka kagum sejujurnya dengan Luka. Dia malah lebih tahan rasa sakit itu. Padahal melihat lukanya terasa nyeri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENTIUM || End✓
Teen FictionLuka, seperti namanya. Begitu banyak luka dalam dirinya. Tanpa ada orang yang tau, seberapa dalam laranya. "Mereka yang mengabaikan ku. Lebih baik aku pergi tanpa harapan." {Sequel IMPERIUM}✓ 🦋🦋 [BELUM REVISI!] #PLAGIAT DILARANG MENDEKAT!! #Karya...