29. Kelahiran

378 28 0
                                    

"Tuhan yang memberi kehidupan, bukan malah menyalahkan kehadiran yang tidak diinginkan."
.
.
.
.
👑👑

Ruangan putih dengan bau obat yang menyengat. Beberapa orang sibuk membantu sosok wanita yang terbaring diatas ranjang. Peluh diwajahnya kentara sekali dia penuh perjuangan.

Erangan kesakitan, jeritan rasa lara. Mengalun bersama instruksi seorang dengan pakaian biru muda.

"Detak jantung bayi melemah, Dok."

Wanita setengah baya yang duduk tepat dibawah kaki itu menarik nafas salam. "Nyonya, ayo sekali lagi. Lebih kuat, kasihan putra Anda."

Wajah wanita itu begitu pucat. Ia menggeleng dengan lemah. Rasanya begitu menyakitkan. Lima belas menit lebih dia sudah berusaha. Namun seolah begitu sulit.

Di sisi lain, tangis bayi terdengar dari sisi ruangan. Hatinya memanas mendengarnya. Putra pertamanya yang telah dia lahirlah. Namun kini, putra keduanya begitu sulit sekali.

Dokter bertidak memberi suntikan perangsang. Dorongan agar sang ibu lebih kuat mengejan.

"Sakit! Ahrgg.."

"Kenapa sakit sekali!?"

Dia putus asa, tetapi suster yang ikut membantu terus menyemangati. Mendorong dirinya agar tidak menyerah.

"Ayo Nyonya, sedikit lagi!"

"ARHGGG!"

Setelah teriakan yang panjang. Keadaan begitu hening. Bayi mungil yang terlilit tali pusar itu berhasil lahir. Tanpa tangis, dengan tubuh begitu pucat.

Tindakan pertama adalah memukul punggungnya agar reaksi menangis. Namun cukup sulit, lalu memberi alat pernapasan.

Wanita itu mencoba begitu tenang. Setelah tali pusar diputus, ia serahkan bayi itu pada salah satu suster. Memberi perintah untuk membawanya pada ruangan lain. Sedangkan dia masih harus mengeluarkan ari-ari.

Wanita itu tak berdaya. Nafasnya begitu tidak beraturan. Selang nasal yang ia kenakan pun tak berefek. Matanya menatap sayu gorden pembatas pada suara bayi diseberang.

.
.
.

Tiga hari berlalu setelah lahirnya bayi kembar dimalam yang dingin. Wanita selaku Ibu bayi itu tengah duduk diatas ranjang ruang inapnya. Menggendong seorang bayi lelaki yang begitu tampan.

Kondisinya sempat kritis karena terlalu kelelahan. Ia kekurangan banyak darah saat itu. Namun sekarang cukup baik, apalagi melihat wajah bayi nya.

Matanya lalu beralih pada meja nakas. Melihat buket bunga mawar merah segar. Dengan secarik kertas. Ia meraih kertas itu dengan satu tangan. Lalu melihat isinya. Membaca dalam diam segala kata yang terangkai.

"Arkane dan Arkana?" Lirihnya. Ia menjatuhkan begitu saja surat itu.

Memeluk bayinya dengan erat. Mengecup keningnya begitu lama. "Kamu Arkane Barata, hidup mu akan selalu bahagia. Mama akan menjamin itu semua. Tumbuhlah menjadi anak kuat dan sehat."

.
.
.

Di balik jendela kaca besar. Ruangan yang yang dipenuhi beberapa bayi dalam kotak kaca. Maniknya menatap lamat bayi dengan banyak sekali alat. Bersama bayi lelaki dalam gendongannya.

SILENTIUM || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang