33. Pengakuan

397 29 9
                                    

"Kejujuran adalah rasa sakit yang membahagiakan."
.
.
.
.
👑👑

Baginya, sudah tidak ada lagi harapan. Dia sudah tau semuanya. Tanpa orang lain mulai membuka suara.

Namun, bagi sosok Arkana. Dia adalah orang paling dibodohi. Luka adiknya, karena dirinya.

Segala hal yang dilakukan sang Kakak tak berati. Hatinya sudah lama beku. Benar tanpa harapan apapun.

Kasih sayang keluarga? Lukana tidak mengharapkan itu sejak dulu.

Walau dia sempat bertanya mengapa semuanya begitu abai padanya. Kenapa dia bagai bayangan sang kakak. Namun, dia sudah mengerti. Hadirnya, adalah luka bagi orang lain.

Seperti sang ibu yang begitu kesakitan saat melahirkannya. Lucas yang rela jantungnya diambil. Lalu sosok Rajendra yang sangat rumit.

Dia menyadari itu, dan tidak lagi berharap apapun. Mereka yang menginginkan dia diam, iya akan diam. Mereka menjadikannya bayangan, ia akan menghilang bersama kegelapan.

"Daddy mau ngomong apa?"

Ruangan rawat yang sudah lebih 1 bulan Luka tempati setelah sadar. Kondisinya semakin membaik. Hanya sekarang harus tetap menjalani beberapa terapi dan pemantauan untuk jantung barunya.

Kini, hanya ada tiga orang. Dirinya, Arka, dan Rajen. Keadaan begitu hening. Dua anak muda itu menanti apa yang ini sosok itu katakan. Namun sejak tadi bungkam.

Mata gelap dinginnya enggan menatap keduanya. Atau, menghindari sosok Luka.

"Kamu tau siapa pendonor jantung mu?" Satu pertanyaan dari sosok itu. Melirik kecil sosok yang duduk diatas ranjang.

Arka duduk dikursi sebelah kiri, berhadapan dengan Rajen yang dibatasi ranjang. Tangannya meremas sesaat tangan sang adik.

"Iya." Balasan yang cukup tenang.

Kedua orang itu menatap cepat. Kentara sorot yang terkejut. "Siapa dia?" Kembali Rajen bertanya.

"Raja Renjana, aku tau dia siapa." Manik kelamnya balas menatap. Pekatnya malam pun enggan pada sorot keduanya.

Luka seolah mengatakan banyak hal dari sorotnya. Pria itu pun menangkap dengan mudah.

"Dia kembaran, Daddy. Ternyata selama ini Om Raja koma." Arka bersuara. Lebih tepatnya mengutarakan apa yang dia tau. Sekarang dia cukup mengerti. Dari kedua orang didepannya, ada sesuatu yang lain.

"Motor itu?" Rajen masih setia menatap lekat. Walau begitu nyeri hatinya melihat wajah ini.

"Desa A, rumah diatas bukit. Nenek Hana, aku sendiri yang mengambilnya." Wajahnya masih cukup tenang. Tak gentar dengan sorot mata Rajen yang berubah beku.

Arka sendiri nampak terkejut. "Maksudnya motor cross yang ada dirumah? Itu punya siapa?"

Luka berbalik menatap Arka. Wajahnya masih tanpa rasa apapun. "Raja."

Arka masih belum mengerti. Dia menatap Rajen meminta penjelasan. Pria itu berbalik menatap hal lain dengan dingin. Tanpa sadar kedua tangannya terkepal.

SILENTIUM || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang