37. Siapa yang berulah?

466 34 9
                                    

"Manusia selalu memiliki dua sisi berbeda. Entah dia menyadari nya, atau menjadikan sebagai senjata."
.
.
.
.
👑👑

Apa yang orang lain lihat, belum tentu adalah diri yang sebenarnya. Sedalam luka, semakin gelap ia menyembunyikan bayangannya.

"Dek."

Wajah tampan yang lebih imut itu tak bereaksi. Maniknya hanya menatap datar.

"Kakak minta maaf."

Arka menunduk sesaat. Dia sudah mengambil keputusan. Dia yakin, segalanya ada sebab dan akibat. Ada asap ada api.

"Maaf selama ini Kakak enggak bisa ngertiin kamu. Kakak bodoh, Kakak juga enggak bisa jadi pelindung kamu, tempat pulang kamu."

"Maaf.."

"Apa yang kamu mau?" Bukan sebuah balasan yang dia harapkan. Namun pertanyaannya yang membuatnya bingung.

Arka diam sesaat. Berfikir dengan baik jawaban apa yang harus dia berikan. Dia lalu menelan ludahnya pelan. Menatap manik gelap tanpa kehidupan adiknya.

"Enggak ada, Kamu boleh hukum Kakak."

"Bagaimana kalau aku pergi dari sini?" Luka sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. Menatap dengan polos bagaimana reaksi Arka.

Kedua tangannya terkepal sesaat. Bersama hembusan nafas panjang. "Kakak cuma punya kamu."

"Tapi dunia ku enggak cuma kamu."

"Dek.."

"17 tahun bukan waktu yang sebentar. Kata maaf memang mudah di ucap. Tapi waktu selama itu tidaklah mudah."

"Kakak harus apa?" Arka memandang lemah. Bahkan jika adiknya menghukumnya pun dia siap.

Dia memang tidak pernah bermain tangan. Namun, segala kebodohannya selama ini adalah luka. Ia ingat jelas bagaimana dia selalu menceritakan ke bagikan sang ibu. Namun dia tidak pernah sadar akan reaksi sang adik yang tidak suka.

"Entahlah, aku hanya ingin kesunyian."

.
.
.

Pagi ini, rumah besar ini nampak ramai. Semua tamu tak kembali pulang dan malah menginap. Beruntung saja memiliki kamar tamu yang cukup untuk mereka.

Manik bulat gelapnya memandang lantai satu rumahnya dalam. Beberapa orang sudah berkumpul di ruang keluarga.

Luka melanjutkan langkahnya menuju tangga. Turun ke bawa dengan pandangan kosong. Entah apa yang ia pikirkan.

Pemuda dengan switer kuning itu bahkan tidak sadar bila sudah salah berpijak.

'Brukk

"Kana!" Seru beberapa orang kentara terkejut melihatnya jatuh.

Tubuhnya menggelinding kebawah dengan cepat. Beruntung hanya tinggal 3 anak tangga terakhir. Namun jelas pasti masih sakit. Apalagi kepalanya hampir membentur pembatas.

"Lo buta apa gimana ha!?"

"Kalau enggak bisa jalan bilang! Gua potong kaki Lo sekalian!"

SILENTIUM || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang