"Peluk aku, layaknya hati mu yang selalu kamu jaga."
.
.
.
.
👑👑Bagai sebuah bayangan penuh lara. Peluh pada dirinya tak berati. Lukanya bukan sebuah rasa sakit.
Apa yang mereka harapkan dari sosok anak yang diabaikan sejak bayi?
Tanpa kasih sayang pun seorang ibu. Bahkan tidak pernah diberikan asi olehnya.
Di tinggalkan sendirian. Keluarga yang enggan. Berjuang sendirian melawan laranya.
Seperti kalimat seseorang. Jangan naif saat kamu terus tersakiti. Hak yang kamu miliki adalah untuk melawan. Namun bagai sebuah racun mematikan. Dia bermain dengan mereka.
Sang lara.
Kebencian mereka, tidak membuat dirinya menjadi kecil. Malah, membangkitkan sisi lain yang cukup gelap.
Lukana tidak pernah mengatakan. Bagaimana dirinya dahulu kala. Perjuangan apa yang telah dia lewati sendiri dalam sakitnya.
Rumah sakit.
Apa yang Aruna katakan bila dia bahagia disana?
Semuanya bohong.
Anak kecil yang mendapatkan tatapan kasihan. Cacian dari orang yang nampak membenci tubuh lemahnya. Bahkan perawatan yang seharusnya memeluk malah membicarakan nya. Mendoakan dirinya agar cepat pergi.
Dia sendirian disana. Namun hadirnya sosok anak lelaki penuh kasih membuat nya bangkit.
Lukana mulai mengerti arti wajah. Seperti apa yang orang sekitarnya lakukan padanya. Menjadi anak manis, penurut, dan penakut yang lemah.
Sayangnya dia pernah terjatuh akan permainan sendiri. Menjadikannya mengerti, jangan memberikan hati agar tidak menjadi luka.
Karena kepergian adalah luka paling dia takuti.
Begitu dia terus bangkit. Bagai iblis yang berdansa diatas bara apinya. Bagai malaikat yang terbang tanpa sayapnya.
Lukana tidak pernah lemah. Dia hanya menarik sang mangsa agar menari bersamanya.
Seperti saat dia selalu melakukan kesalahan di depan Logan Althara. Dia hanya ingin diperhatikan.
Begitu gila akan perhatian. Namun hanya pada satu orang.
Mereka melihatnya begitu kuat menahan rasa sakit. Nyatanya begitu menggelikan bagi dirinya.
"Enggak usah sok lemah."
Bibir mungilnya mengerucut, menatap pemuda di depannya bagai kucing lucu. Sayangnya tidak berati.
Pemuda itu menatap dengan senyum miring. Menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan kedua tangan bersedekap dada. Menatap bagaimana perubahan raut wajah pemuda mungil itu.
"Sekarang gua mau tanya. Lo mau ikut siapa?"
Manik itu berubah tenang, wajahnya tanpa rasa. Membuat nya cukup puas akan reaksi nya.
"Keluarga Lo mau balik ke Jerman. Kalau Kakak Lo masih disini sampai lulus. Lo kan anak dibuang, baru kali ini ditanya mau ikut siapa." Kekehnya rendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENTIUM || End✓
Fiksi RemajaSosok yang begitu mencintai kesendirian. Tempat dimana ia bisa meredakan segala kacau dalam dirinya. Mencegah untuk menjadi liar. Luka, seperti namanya. Begitu banyak luka dalam dirinya. Tanpa ada orang yang tau. Seberapa dalam laranya. "Mereka yang...