11. Seperti apa?

809 57 4
                                    

"Akan seperti apa hidupnya? Bahagia seperti apa dimasa depan dengan luka sedalam ini?"
.
.
.
.
🦋🦋

Ada kalanya rasa sakit hadir menjadi pengingat. Atas segala hal yang telah terlewati tapa rasa bersyukur.

.
.
.

Mata hitam bulat penuh kelabu. Wajahnya pucat tanpa rona kehidupan. Bibir mungilnya terkatup erat. Menatap pantulan dirinya sendiri dicermin.

Pada tengah dadanya terdapat perban. Lalu perutnya terdapat sesuatu mirip selang keluar. Ia tidak mengerti. Apalagi harus mengenakan sesuatu yang katanya itu baterai? Ada beberapa kabel aneh. Sungguh. Dari pada rasa sakit, ia lebih bingung.

"Adek Kana?"

Ia menoleh keluar toilet. Segera melangkah keluar mencari sumber suara yang memanggilnya. Namun sambil mencoba mengancingkan bajunya.

"Gege." Panggilnya cerita. Matanya berbinar melihat sosok anak lelaki yang lebih besar darinya.

Wajah tampan khas Tionghoa. Namun pucat, walau begitu ia tersenyum manis. Padahal ia mengenakan pakaian rumah sakit yang sama. Bahkan, ia membawa tiang infusnya sendiri.

"Adek apa kabar?" Tanya sosok itu.

"Rasanya aneh, Kana gak tau ini apa. Tapi Kana jadi bisa nafas lagi." Gigi kelinci yang lucu ia perlihatkan. Membuat sosok itu tersenyum kembali. Membelai surainya.

Sesaat sosok yang dipanggil Gege itu melihat alat yang dikenakan. Merasakan sakit yang diderita tubuh mungil itu. Sungguh, ia mungkin tidak akan mampu.

"Syukurlah, Gege seneng dengernya. Adek harus sehat."

.
.
.

"Gege kenapa?"

"Gapapa, Gege cuma pusing sedikit."

"Ayo panggil dokter!"

"Gak usah, Gege gapapa kok."

Mata bulat cerahnya nampak meredup. Kentara ia khawatir. Dua anak dengan luka mereka sendiri. Namun dipertemukan dengan banyak mimpi bersama.

Bocah kecil dengan alat bantu jantung yang selalu dia kenakan. Usianya baru akan menginjakkan Lima tahun. Namun segala yang dia rasakan bukan rasa sakit. Entah seperti apa tubuh kecilnya dibedah. Rasanya, sudah biasa.

Sedangkan sosok yang lebih tua satu tahun darinya. Ia terlihat anak yang sehat. Namun menyimpan sakitnya sendiri. Pertemuan keduanya satu tahun lalu. Membuat mereka sangat dekat. Sering bermain bersama.

"Gege darah!" Seru anak kecil itu terkejut dan takut.

Yang lebih tua nampak panik sendiri. Bukan takut akan darah yang keluar dari hidungnya. Namun takut adik kecilnya itu takut.

"Gapapa, gak sakit. Jangan takut oke?" Katanya lembut, menyeka darah dengan lengan bajunya. Namun tak juga berhenti.

"Hiks.." tangisnya pecah. Semakin membuat sosok itu panik.

"Hey!? Ini cuma mimisan biasa. Gapapa, Gege oke."

Si kecil menggeleng cepat. Nafasnya tercekat dengan sesak. Namun ia mencoba bangkit menjauh. Menuju ranjangnya. Menekan tombol yang selalu ia gunakan memanggil dokter ataupun suster.

"Adek.. Jangan nangis, Gege gapapa."

"Ta-tapi.. darah."

"Iya, nanti juga berhenti sendiri."

SILENTIUM || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang