14. Sesaat

660 40 0
                                    

"Ingat, tidak ada yang abadi."
.
.
.
.
🦋🦋

Hamparan birunya lautan. Deburan ombak yang menari dengan cantik. Menuju bibir pantai dengan pasir putih bersih. Menerka segala karang yang menghalanginya.

"Jangan dilepas, panas."

Mata bulat gelap menatap cerah sosok didepannya. Lalu beralih pada hamparan laut lepas.

"Indah," katanya lirih. Mengagumi segala hal tentang keindahan alam.

"Makasihnya mana?" Sosok yang lebih tinggi itu nampak menatap sinis. Membuat dirinya terdiam sesaat.

"Makasih."

"Hm." Balas Logan lirih. Memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Menghadap pada pantai dengan tenang.

"Ak-"

"Siapa?" Tidak menatap, namun nadanya kentara memperingati.

Luka langsung menggeleng pelan. Menarik ujung baju Logan. Jari tangannya yang mungil menunjuk pada bibir pantai. "Kana mau main disana, boleh?"

"Hm, jangan jauh-jauh. Gua mau beli makan dulu."

Sudah mendapat izin. Luka dengan cepat melepas sepatunya. Berlari tanpa alas kaki menuju bibir pantai. Meninggalkan pemuda kejam itu yang masih diam menatapnya. Lalu tak lama berbalik pergi.

Luka yang ditinggal sendiri tak takut. Dia hanya menikmati ombak yang menabrak kakinya. Juga melihat beberapa hewan kecil berlarian. Lagi pula, dia yakin Logan tidak mungkin membiarkan dirinya sendiri tanpa pengawasan.

Rasanya, sudah sangat lama dia tidak bebas bermain. Huh, ia ingat dua tahun lalu. Bahkan sangat sedikit.

Walaupun pantai sedikit ramai. Dia menikmati nya terasa damai. Bahagia lebih banyak menari dari pada rasa tak nyamannya.

Luka adalah sosok pecinta alam. Apapun itu, ia akan sangat suka dengan keindahannya. Salah satunya pantai. Pernah ia berfikir memiliki rumah didekat pantai. Atau ditengah hutan yang sepi. Mimpinya memang hidup dengan bebas didalam yang damai.

Asik sendiri bermain pasir dan ombak. Tak sadar bila Logan sudah kembali. Melihat bagaimana dirinya bermain. Pemuda itu menggeleng pelan.

"Dasar Bocil." Katanya tajam. Namun Luka tak merasa sakit hati. Hanya menatap dengan polos.

"Makan dulu." Katanya lalu menarik Luka bangkit.

Membawanya pada satu pohon rindang. Sudah ada karpet dan berbagai makanan laut yang dihidangkan. Pemuda pendek itu nampak gembira walau tanpa senyuman. Dari sorot matanya pun terpancar ia senang.

"Jangan lepas topinya."

Luka menurut saja, hanya melepas maskernya. Tau mengapa demikian. Takutnya ada bawahan atau orang-orang keluarga nya.

Keduanya makan dengan diam. Menikmati dalam hening. Walau sesekali Logan mengomentari bagaimana Luka makan.

"Gak main lagi?" Tanya Logan melihat Luka yang duduk anteng setelah makan.

Pemuda itu menggeleng. "Masih panas banget."

"Sini." Ditepuk pahanya pelan. Luka menatap sejenak, lalu bergerak berbaring. Mengunakan pahanya sebagai bantal.

Keduanya hening kembali. Menikmati hembusan angin dan indahnya lautan. Melihat bagaimana air laut mulai surut.

"Mereka cari apa?" Jari mungilnya menunjuk orang-orang yang berjalan ke bibir pantai membawa ember.

Karena air surut terlihat karang-karang yang begitu dekat dengan bibir pantai. Mereka nampak mencari sesuatu dibalik sana.

"Kelomang." Jawab Logan tenang. Membuat Luka bangkit dengan cepat.

SILENTIUM || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang